Anda di sini
Beranda > Berita > Undang PHI Diskusi Lanjutan RUU Sisdiknas, Kepala BSKAP Dorong Homeschooler Sampaikan Aspirasi ke DPR

Undang PHI Diskusi Lanjutan RUU Sisdiknas, Kepala BSKAP Dorong Homeschooler Sampaikan Aspirasi ke DPR

Jakarta, phi.or.id – Setelah mengusulkan RUU Sisdiknas masuk ke dalam Prolegnas Prioritas Perubahan, pemerintah saat ini dalam posisi menunggu DPR menjadwalkan waktu pembahasannya. Meskipun demikian, Pemerintah sebagai pengusul RUU Sisdiknas tetap membuka diri menerima masukan perbaikan naskah, termasuk tentang perbaikan klausul tentang sekolahrumah, dan mendorong Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI) sebagai stakeholder terus mengawal aspirasi ke DPR. Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (BSKAP Kemendikbudristek) Anindito Aditomo saat melakuan audiensi sekaligus diskusi terpumpun dengan tim PHI di Jakarta, hari Senin (12/9) lalu.

“RUU Sisdiknas dibahas di DPR mulai tahun ini. Kami tetap menampung masukan sebagai input untuk tahap selanjutnya. Jadi posisinya saat ini adalah supaya kita bisa saling mengklarifikasi dan memahami, karena kami belum bisa mengubah drafnya saat ini, tergantung pembahasan di DPR,” Anindito menjelaskan situasinya di awal perbincangan.

Apresiasi dan Klarifikasi Lanjutan

Koordinator Nasional PHI Ellen Nugroho mengawali pandangan umum dari tim PHI dengan memperkenalkan apa itu homeschooling atau sekolahrumah dan memberikan apresiasi. “Kami mengikuti proses perumusan RUU Sisdiknas, kami sudah diundang di FGD, lalu mendapat naskah terbaru dari BSKAP. Kami melihat masukan kami di FGD dulu relatif diakomodasi dalam RUU yang baru. Waktu itu kami mengkritik klausul dimasukkannya sekolahrumah dalam jalur pendidikan nonformal yang harus diselenggarakan oleh lembaga berbadan hukum. Di draf RUU terbaru, sudah ada perubahan, disediakan jalur perorangan untuk sekolahrumah di jalur nonformal.”

Terkait draf terbaru, Ellen menyampaikan bahwa PHI masih mempertanyakan alasan mendasar mengapa Pemerintah menganggap sangat perlu sekolahrumah dimasukkan ke jalur pendidikan nonformal. “Dalam UU Sisdiknas sekarang, kami masuk ke jalur pendidikan informal. Secara karakteristik ini lebih lebih dekat dengan praktik kami yang tidak terlembaga dan pembelajarannya bisa tidak terstruktur. Kami sendiri menganggap sekolahrumah lebih tepat di jalur pendidikan informal,” terangnya.

Dari hasil diskusi PHI, menurut Ellen, ada sejumlah persoalan yang perlu diklarifikasi pemerintah apabila sekolahrumah hendak dipindahkan ke jalur pendidikan nonformal. “Ini berarti keluarga pesekolahrumah harus menjadi satuan pendidikan nonformal. RUU ini mendefinisikan satuan pendidikan sebagai lembaga. Apakah berarti keluarga pesekolahrumah harus ikut aturan-aturan yang mengikat satuan pendidikan nonformal, seperti akreditasi? Itu pasti akan memberatkan keluarga pesekolahrumah.”

Poin berikutnya yang menjadi keberatan PHI apabila sekolahrumah masuk ke jalur pendidikan nonformal adalah klausul kewajiban meminta izin dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bagi praktisinya. “Dengan istilah meminta izin ini, apakah berarti bisa saja keluarga ditolak menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya sendiri? Seperti apa prosedur permintaan izinnya?”

Mengingat tidak meratanya pemahaman tentang sekolahrumah di dinas-dinas pendidikan kabupaten/kota, Ellen menyampaikan bahwa PHI terus terang merasa khawatir dengan istilah meminta izin, sebab bisa terjadi proses birokrasi yang rumit bahkan oknum yang melakukan pungli dalam proses permintaan izin. “Kami ingin konsepnya bukan meminta izin, tapi memberikan notifikasi atau mendaftarkan diri pada pemerintah, sebab pada dasarnya mendidik anak adalah hak orangtua, meskipun harus dilakukan secara bertanggung jawab.”

Hal terakhir yang disoroti PHI adalah definisi pendidik dalam RUU Sisdiknas yang tidak mencakup orangtua. “Di sekolahrumah, orangtua melaksanakan peran pendidik, termasuk di bidang akademis. Kami hanya merekrut guru kalau butuh. Saat ini klausul pendidik dalam RUU tidak memberi legal standing untuk orangtua. Yang disebut pendidik adalah guru, dan guru wajib lulus pendidikan profesi guru. Akan memberatkan sekali kalau orangtua harus lulus PPG.”

Turut berbicara anggota tim advokasi PHI lainnya untuk melengkapi Ellen. Noor Aini Prasetyawati dari PHI Solo, Annette Ellen dari PHI Jakarta Timur, dan Wimurti Kusman dari PHI Bogor mengutarakan diskriminasi yang sampai saat ini masih dialami oleh pemegang ijazah paket C saat ingin mendaftar ke perguruan tinggi negeri, mengikuti perlombaan antar pelajar, dan melanjutkan pendidikan ke luar negeri. “Bagaimana RUU Sisdiknas menjamin tidak ada lagi diskriminasi seperti ini apabila sekolahrumah dimasukkan ke jalur pendidikan nonformal?” tanya Noor Aini.

“Kami memilih homeschooling itu supaya bisa belajar apa saja dan kapan saja. Kalau kami diikat harus mengikuti aturan satuan pendidikan nonformal seperti SKB dan PKBM, itu merdekanya di mana?” tanya Happy Budi Febriasih dari PHI Malang. Ratna Hayati dari PHI Jakarta Barat berharap ada pendataan agar anak-anak pesekolahrumah tidak dianggap sebagai anak tidak sekolah, tanpa harus mewajibkan keluarga pesekolahrumah terdaftar di PKBM.

Sementara itu, Sapta Nugraha dari PHI Yogyakarta menyampaikan agar RUU Sisdiknas selaras dengan konsep Ki Hadjar Dewantara yang menempatkan orangtua sebagai pendidik utama dan menyebutkan keluarga memainkan peran yang paling penting dalam trisentra pendidikan.

Dokumen tertulis pertanyaan PHI dalam forum ini dapat diunduh di sini.

Melindungi Fleksibilitas, Meminta Akuntabilitas

Menanggapi lontaran tim PHI, Anindito mengajak untuk tidak langsung membahas pasal-pasal tapi membicarakan dulu gambaran praktik sekolahrumah dalam RUU Sisdiknas. “Kami justru ingin memecahkan problem-problem yang tadi disampaikan. Saat ini fleksibilitas sekolahrumah secara de jure sudah ada, tapi dalam praktiknya orangtua pesekolahrumah tidak dianggap sebagai pendidik, masih harus mendaftarkan anak ke PKBM. Nanti ada PKBM yang super akomodatif, ada yang kaku karena harus mengacu delapan standar pendidikan nasional, situasinya berbeda-beda di tiap daerah.”

Anindito menyebutkan ada tiga hal yang hendak diatur oleh RUU Sisdiknas. Pertama, pesekolahrumah mendapat pengakuan de jure secara eksplisit, tetapi berada di jalur pendidikan nonformal. Ke depannya, hanya jalur pendidikan formal dan nonformal yang harus mengikuti standar pendidikan nasional. Jalur pembelajaran informal akan sama sekali tidak diatur oleh pemerintah.

Kedua, fleksibilitas sekolahrumah tetap dijamin dengan mengatur bahwa jalur pendidikan nonformal tidak harus diselenggarakan oleh lembaga berbadan hukum. “Jadi tidak harus terlembaga, bisa lewat jalur perorangan. Kalau kata perorangan ini masih kurang pas, bisa didefinisikan ulang lagi. Silakan memberi masukan,” terang Anindito.

Fleksibiltas juga dijamin dengan mengatur agar jalur pendidikan nonformal hanya diikat oleh standar capaian. “Cara belajarnya mau seperti apa, tidak kita atur. Prosesnya bisa sangat fleksibel, tergantung masing-masing keluarga. Kami hanya mengatur ujungnya saja, yaitu standar capaian, karena pemerintah punya tanggung jawab bahwa proses pendidikan baik di jalur formal maupun nonformal, terlembaga atau tidak, harus mencerminkan karakter Pancasila, sesuai konstitusi dan bangun kebangsaan,” lanjutnya.

Ketiga, keluarga pesekolahrumah juga harus bisa memenuhi syarat akuntabilitas. Anindito menjelaskan bahwa RUU Sisdiknas melanjutkan konsep wajib belajar yang ada di konstitusi dan UU Sisdiknas yang sekarang berlaku.

“Pada periode usia tertentu, setiap warga wajib belajar dan negara wajib menyediakan bangku sekolahnya. hak anak untuk mendapat pendidikan terutama di periode wajib belajar itu terpenuhi. Pilihan keluarga ada dua: memasukkan anak ke sekolah atau mendidik sendiri anak sebagai pesekolahrumah, tapi kewajiban orangtua tetap sama, yaitu memastikan anak mendapat pendidikan. Perlu ada cara untuk quality assurance bahwa proses pendidikan, termasuk di sekolahrumah, berjalan dengan baik. Jadi negara perlu ada mekanisme evaluasi dan pengawasan untuk pemenuhan hak anak, karena itu dinormakan perlu izin,” jelasnya.

Menghilangkan Diskriminasi Antar Jalur Pendidikan

Analis kebijakan Kemendikbudristek Totok Suprayitno menambahkan penjelasan bahwa semangat RUU Sisdiknas justru menghilangkan paradigma dominan saat ini yang menjadi persekolahan formal sebagai tolok ukur (benchmark) pendidikan yang berkualitas. “RUU ini memperluas domain cara penyelenggaraan pendidikan supaya bukan lagi sekolah formal yang dominan. Orang yang belajar sendiri atau otodidak, negara akan mengakui,” katanya.

Dimasukkannya sekolahrumah ke dalam jalur pendidikan nonformal, menurut Totok, adalah untuk memperluas spektrum pendidikan nonformal. “Kalau dulu PNF itu identik dengan paket ABC, padahal tidak semua praktik pendidikan nonformal untuk kesetaraan. Tapi di UU Sisdiknas lama, pengakuannya belum ada. Anak harus pura-pura mengikuti pendidikan kesetaraan, termasuk anak sekolahrumah. Nantinya tidak lagi. Sekolahrumah masuk jalur pendidikan nonformal, tapi domain nonformal diperluas tidak hanya berkonotasi kesetaraan saja. Ini sekadar pindah rumah,” lanjutnya.

Mengapa sekolahrumah perlu dipindah ke jalur pendidikan nonformal? Menurut Totok ini ada kaitannya dengan konvensi internasional yang mengakui tiga jalur pendidikan, yakni pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pembelajaran informal. “Kita perlu ikut konvensi internasional ini, apalagi kalau sekolahrumah terus berkembang jumlahnya. Kita berkepentingan progress ini tercatat untuk pemenuhan wajib belajar. Selama masih di jalur pembelajaran informal, partisipasinya nanti tidak akan dihitung. Tapi justru dengan masuk ke jalur pendidikan nonformal yang diperluas, sekolahrumah bisa terus berkembang dan diakui,” pungkasnya.

Anindito menerangkan bahwa konstruksi UU Sisdiknas yang sekarang memang mengandung hirarki antar jalur pendidikan, dan selama konstruksi itu tidak diubah, sulit untuk sepenuhnya menghilangkan diskriminasi terhadap sekolahrumah. “Memang asumsinya yang memenuhi standar itu sekolah formal, lainnya harus disetarakan. Ini yang mau kita ubah di RUU Sisdiknas. Formal, nonformal dan informal dari spektrum apa pun, penyetaraannya adalah dengan standar capaian nasional.”

Kesetaraan antar semua jalur tersebut, menurut Anindito, akan diwujudkan lewat adanya layanan asesmen yang disediakan oleh negara bagi semua anak. “Yang ingin mendapat pengakuan hasil belajar otoritatif dari pemerintah. Anak dari sekolah formal, sekolahrumah, madrasah, pesantren, PKBM, silakan ikut ujian itu, untuk diakui sudah memenuhi standar nasional, lalu ada surat keterangan resmi untuk yang perlu ke universitas. Asesmen terstandar dari pemerintah ini akan meningkatkan kredibilitas pendidikan nonformal dan sekolahrumah, juga untuk menghilangkan persepsi publik yang tidak benar bahwa pendidikan di luar sekolah itu tidak sebaik pendidikan sekolah.”

Anindito mengakui bahwa tidak semua masalah akan langsung selesai bahkan sekalipun RUU Sisdiknas diundangkan. “Di RUU ini, kita menatap konsepnya dulu, kita betulkan, tinggal nanti ada upaya advokasi lebih lanjut ke semua pihak, termasuk ke negara-negara lain yang akan menggunakan sertifikat itu. Kita sekarang punya dulu gambaran implementasinya, tapi pengaturannya nanti di aturan turunan, bukan di undang-undang. Kami perlu masukan apa syarat penyelenggaraan sekolahrumah yang masuk akal untuk melindungi anak,” tambahnya.

Diskusi Hangat Klausul Izin Sekolahrumah

Di tengah diskusi, Annette Sitompul dari PHI Jakarta Timur kembali mempertanyakan klausul kewajiban sekolahrumah sebagai pelaku pendidikan nonformal untuk minta izin dari Pemerintah Pusat dan Daerah.

“Ini berarti orangtua dipertanyakan kredibilitasnya. Kata izin ini bukan hanya masalah kata, tapi esensinya, bukan sekadar di level tatanan negara dan kewarganegaraan. Orangtua itu mendapat tugas penunjukan langsung sebagai pendidik utama, lepas dari gelarnya apa, tapi sebagai orangtua kita punya panggilan dan amanat untuk mendidik anak, apakah itu perlu izin? Ini anak yang harus saya pertanggungjawabkan [kepada Tuhan], saya ada buat anak ini, saya yang paling kenal anak saya, apa dasarnya saya harus mohon izin negara untuk menjalankan tugas saya? Bagaimana implementasinya proses perizinan itu? Siapa yang akan datang ke rumah saya untuk mengecek saya layak atau tidak? Apakah mungkin izin itu tidak diberikan?” tanya ibu tiga anak yang menegaskan preferensi PHI untuk istilah “mendatakan diri” daripada “minta izin” ini.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Anindito menyampaikan bahwa klausul perizinan itu berkaitan dengan negara yang berkepentingan melakukan pemantauan.

“Kata izin itu memang sengaja dipilih, konteksnya memastikan hak anak mendapat pendidikan. Ini yang dimaksud bukan izin mendidik anak secara keseluruhan. Yang butuh izin adalah orangtua yang akan menggantikan peran sekolah formal atau nonformal untuk memenuhi wajib belajar. Sebagian besar harusnya tidak ada masalah, tapi memang ada kemungkinan ditolak, misalnya pada kasus ekstrem seperti drug abuse atau kekerasan seksual, negara seharusnya menolak sampai bisa dibuktikan orangtua bisa memberi layanan pendidikan yang baik. Logikanya seperti guru juga harus menjalani screening. Prinsipnya melindungi anak. Saat ini Pemda belum ada mekanisme, kita nanti bangunkan dulu sistemnya.”

Totok menyampaikan bisa memahami kekhawatiran PHI tentang klausul perizinan. “Kemungkinan bapak-ibu pesekolahrumah punya pengalaman pahit dengan perizinan, tapi sebaiknya tidak dibayangkan perizinannya akan seribet itu.”

“Kita bisa maknai bersama nanti kata ‘izin’-nya. Intinya adalah ada pelayanan minimal karena pemerintah daerah harus mendata anak usia sekolah itu mendapat pendidikan dan memenuhi wajib belajar. Peristilahannya bisa kita atur, tapi harus ada potret bahwa semua anak wajib belajar itu ada dalam sistem belajar,” tambah Dian Wahyuni, Kepala Biro Hukum Kemendikbudristek.

Di ujung pembicaraan tentang perizinan, Anindito menyampaikan, “Kita sudah lebih memahami perspektif homeschooler bahwa istilah izin itu terlalu kuat karena negara seperti gatekeeper yang menentukan boleh atau tidak. Saya sudah berusaha menjelaskan bahwa peran gatekeeper itu hanya bersifat sebagian, karena negara punya kewajiban memastikan wajib belajar dan anak aman. Tapi kita juga bisa memahami keinginan pesekolahrumah agar pendataan wajib itu bukan berarti izin yang bisa ditolak di awal. Itu akan kita catat.”

Sementara itu, Dian menambahkan bahwa karena pengaturan pendataan sekolahrumah saat ini diatur oleh Permendikbud Nomor 129 Tahun 2014 tentang Sekolahrumah, akan baik kalau semua pihak duduk bersama dan melakukan revisi terhadap Permendikbud tersebut.

Himbauan untuk Menyampaikan Aspirasi ke DPR

Di akhir diskusi, Ellen menyampaikan apresiasi kepada Kemendikbudristek karena sudah bersedia memberikan klarifikasi atas pertanyaan-pertanyaan keluarga besar PHI. “Kami dari PHI bisa melihat tujuan baik dari tim penyusn RUU, bukan untuk mempersulit tapi untuk memberi ruang, pengakuan, perlindungan, dan memberikan jalan bagi pesekolahrumah agar lebih ideal pengaturannya. Kami sangat berharap diajak berkomunikasi, dan ada tindak lanjut untuk usulan yang sangat bagus untuk revisi Permendikbud 129 tanpa harus menunggu RUU diselesaikan. Terima kasih pada Kemendikbduristek telah memberi ruang, penyampaian aspirasi kami diterima sangat baik. Semoga ke depannya kita bisa terus berkolaborasi sebagai sesama warga negara yang peduli nasib rakyat Indonesia.”

Anindito juga menyampaikan terima kasih kepada PHI. “Hari ini kami mendapat masukan dan pemahaman yang lebih mendalam dari teman-teman pelaku homeschooling yang sangat berharga untuk kita bawa untuk proses diskusi dan pembahasan selanjutnya. Kami usulkan juga teman-teman dari PHI diundang lagi sebagai narasumber di Komisi X. Atau sebagai stakeholder silakan langsung menyampaikan aspirasi pada Komisi X. Kami berharap semakin banyak pihak yang menyampaikan masukan pada DPR RI,” himbaunya.

Leave a Reply

Top