FGD RUU Sisdiknas, Kepala BSKAP Kemdikbudristek: Visi Kami tentang Sekolahrumah Sama Persis dengan Visi PHI Berita by phi - 18 April 202219 April 20223 Post Views: 81 Jakarta, phi.or.id – Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Akreditasi Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (BSKAP Kemdikbudristek) Anindito Aditomo memberi konfirmasi bahwa visi Kemdikbudristek tentang sekolahrumah sama dengan gagasan yang disampaikan oleh Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI). Hal itu disampaikan Anindito dalam diskusi terpumpun Kemdikbudristek tentang draf Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) versi April 2022 yang diselenggarakan hari Senin (18/4) secara daring. “Yang disampaikan sama persis dengan yang kita coba normakan dalam RUU ini,” katanya usai Koordinator Nasional PHI Ellen Nugroho mempresentasikan tanggapan, kritik, dan usulan keluarga-keluarga pesekolahrumah terhadap draf RUU Sisdiknas dan naskah akademiknya. “Itu contoh masukan yang bagus dan konkret,” tambahnya kemudian. Ekspektasi vs. Realitas Pesekolahrumah PHI menyampaikan kepada BSKAP bahwa ada tiga kebutuhan keluarga pesekolahrumah di Indonesia. Pertama, fleksibilitas dalam menyusun dan menerapkan kurikulum yang sesuai visi-misi pendidikan keluarga dan memfasilitasi potensi, cita-cita, panggilan, minat dan bakat anak. Kedua, adanya pengakuan Negara terhadap status dan capaian belajar anak pesekolahrumah sehingga dapat mengakses hak/kesempatan akademis, non-akademis, atau karier setara dengan yang bisa diakses siswa sekolah dengan kompetensi yang sama. Ketiga, adanya perlindungan dan dukungan Negara terhadap proses belajar anak-anak pesekolahrumah, termasuk untuk berganti jalur pendidikan. “Namun dalam kenyataannya, pesekolahrumah masih belum merdeka karena saat mengikuti pendidikan kesetaraan masih harus mengikuti standar isi dan standar proses yang tidak selalu sesuai dengan metode pendidikan pilihan keluarga atau anak. Masih ada juga diskriminasi, pesekolahrumah tidak bisa mengakses peluang-peluang yang bisa diakses siswa sekolah formal, dan dari Negara juga belum ada dukungan sama sekali, karena Negara sama sekali tidak punya data keberadaan pesekolahrumah,” terang Ellen. Draf RUU Mengerdilkan Pendidikan Keluarga PHI menyatakan kecewa karena mendapati draf RUU Sisdiknas menganggap pendidikan dalam keluarga bukan pendidikan, tapi hanya sebatas pembelajaran. Pasal 25 draf RUU mengubah jalur pendidikan yang di UU Sisdiknas 2003 semula terdiri atas pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal menjadi terdiri atas pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pembelajaran informal. “Di sini terjadi pengerdilan makna. Adalah kesalahan besar menganggap proses orangtua-anak dalam keluarga sebagai bukan pendidikan. Sangat berlawanan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang trisentra dan peran alam keluarga sebagai pusat pendidikan,” tegas Ellen. Menurutnya, pendidikan adalah keseluruhan upaya sadar dan terencana dalam pengembangan potensi anak, berkaitan dengan nilai dan pola pikir, sedangkan pembelajaran sebatas metode atau teknis belajar-mengajar. Ellen menyayangkan bahwa Naskah Akademik draf RUU Sisdiknas yang banyak mengutip pemikiran Ki Hadjar Dewantara sebagai landasan teori, ternyata tidak konsisten mengikuti gagasan-gagasan Bapak Pendidikan Indonesia ini. “Dalam filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, proses kehidupan anak di dalam keluarga merupakan sebuah proses pendidikan, bahkan pendidikan yang utama,” kata Ellen. Ada Klausul yang Tidak Masuk Akal Secara lebih spesifik, PHI meminta Kemdikbudristek merevisi draf RUU Sisdiknas yang mengklasifikasi sekolahrumah (homeschooling) ke dalam jalur pendidikan nonformal subjalur kesetaraan (Penjelasan Pasal 34 ayat (2) draf RUU). Sementara dalam Pasal 37 ayat (2) dan (3) disebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan nonformal oleh Masyarakat harus berbentuk lembaga yang berbadan hukum dan harus memperoleh izin operasional. “Ini menunjukkan penyusun draf belum paham dua hal. Pertama, bahwa hakikat sekolah rumah adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga dengan orang tua sebagai penanggung jawab utama. Sungguh tidak masuk akal untuk meminta keluarga menjadi lembaga berbadan hukum dengan izin operasional,” kata Ellen. “Yang kedua, bahwa keluarga pesekolahrumah memiliki beragam visi, filosofi, atau idealisme pendidikan. Tidak semua keluarga atau anak pesekolah rumah merasa butuh mengikuti penyetaraan dengan dengan pendidikan formal, banyak yang fokus mengembangkan minat-bakat mereka, atau berwirausaha, atau mengejar cita-cita mereka selain di dunia akademis,” tambahnya. Ellen membenarkan bahwa sebagian keluarga pesekolah rumah memilih bermitra dengan lembaga tertentu, terutama Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), apabila anaknya memerlukan pendidikan kesetaraan. “Kemitraan itu berdasarkan kebutuhan saja. Namun, PKBM atau lembaga pendidikan nonformal yang menjadi mitra pesekolahrumah tidak sama dengan sekolahrumah itu sendiri. Menyamakan keduanya adalah kesalahan fatal,” tegasnya. Usulan Aturan Ideal Sekolahrumah Di akhir presentasi, Ellen menyampaikan beberapa usulan konkret yang diharapkan PHI bisa diwujudkan dalam RUU Sisdiknas. “Kami meminta sekolahrumah tetap dimasukkan jalur pendidikan informal, bukan pembelajaran informal. Harap diatur bahwa sekolahrumah adalah pendidikan yang dilakukan mandiri, keluarga, atau lingkungan dan bersifat tidak terlembaga. Kemudian diatur mekanisme yang jelas tentang pindah jalur, pengakuan capaian belajar, komitmen dukungan Negara untuk pesekolahrumah.” Harapan lainnya adalah RUU Sisdiknas akan mengatur adanya lembaga asesmen atau sertifikasi kompetensi yang bisa diakses oleh semua anak dari jalur pendidikan mana pun. “Jadi nanti alumni sekolah, PKBM, atau pesekolahrumah sama-sama bisa asesmen di situ, dan skor penilaiannya bisa dipakai untuk seleksi masuk perguruan tinggi secara nasional, seperti yang sudah dilakukan di negara maju,” terang Ellen. Visi Kemandirian Sekolahrumah Anindito menyatakan bahwa ada spirit yang sama antara masukan PHI dengan niat Kemdikbudristek, yakni mewujudkan fleksibilitas dan kemerdekaan belajar. “Misalnya, bahwa sekolahrumah seharusnya tidak dipaksa memiliki badan hukum, tidak harus terlembaga, itu betul. Niat kami juga seperti itu. Kalau norma sekarang mengarah ke interpretasi itu, ini perlu diubah, kita perlu mencari solusi, cara supaya sekolahrumah bisa diselenggarakan tanpa ada lembaga berbadan hukumnya, sebab tentu saja keluarga bukan lembaga berbadan hukum. Yang kita inginkan sama,” katanya. Dalam paparan Anindito menjelaskan bahwa maksud Kemdikbudristek mengkategorikan sekolahrumah ke dalam subjalur kesetaraan adalah supaya standar input dan prosesnya tidak perlu diikat dengan ketat pemerintah, karena praktiknya sangat bervariasi. “Kesetaraan diikat standar capaian saja, supaya keragaman praktik pendidikan itu bisa tumbuh dan diperkuat tanpa terlalu banyak diatur oleh pemerintah.” katanya. Draf RUU juga ingin mengganti norma yang memberi kesan bahwa pendidikan nonformal dan informal sebagai jalur pendidikan bersifat inferior dibanding pendidikan formal. “Dengan istilah disetarakan itu implisit ada hirarki, seolah harus dicek, apa [pendidikan nonformal dan informal] sudah sesuai atau tidak dengan formal. Ini kita ubah, tiga jalur ini setara. Semuanya disetarakan ke standar nasional pendidikan.” Secara lebih spesifik, Anindito mengungkapkan bahwa draf RUU ini harapannya berimplikasi pada kemandirian pesekolahrumah. “Ke depannya kita mengangan-angankan bahwa sekolahrumah itu tidak harus mendaftarkan diri di PKBM, jadi sekolahrumah itu diakui sebagai praktik pendidikan kesetaraan yang mandiri, yang bisa lepas dari PKBM. Untuk pengakuannya, bisa mendapatkan pengakuan dari uji kesetaraan, jadi diikat di ujungnya.” Visi Fleksibilitas dan Kemerdekaan Lebih lanjut Anindito juga mendukung ide adanya lembaga asesmen mandiri. “Tadi disampaikan ada cita-cita di mana Negara menyediakan layanan yang bisa mengakui hasil belajar anak-anak terlepas mereka dari jalur mana pun. Persis itu yang kita sedang upayakan melalui rancangan undang-undang ini. Kalau normanya belum sampai ke sana, belum menjamin hal itu, tolong kami diberitahu, silakan beri kritik dan masukan supaya yang kita niatkan itu terjamin.” Terakhir, tentang nomenklatur jalur pendidikan, Anindito berjanji bahwa BSKAP Kemdikbudristek akan menimbang ulang. “Akan kami diskusikan apakah pembelajaran informal lebih tepat menjadi pendidikan informal, tapi pada prinsipnya kami ingin agar ada ruang kemerdekaan dan fleksibilitas yang lebih besar dan kontekstual bagi pendidikan nonformal dan informal dalam rancangan undang-undang ini. Jika itu masih belum terjamin di sini, sekali lagi silakan beri masukan substantif, di pasal mana, apa yang perlu diubah. Silakan beri masukan yang memperkuat norma-norma untuk memberi ruang bagi kemerdekaan dan fleksibilitas tadi.” Organisasi Tolak Klaim Uji Publik Kepada Anindito, sejumlah organisasi yang hadir menyatakan keberatan kegiatan ini disebut uji publik, hanya menganggapnya sebagai diskusi terpumpun, dan menolak klaim pelibatan publik dalam penyusunan kebijakan sebagaimana yang tertulis dalam undangan BSKAP Kemdikbudristek. Yang pertama kali menyatakan penolakan adalah Konsorsium Pendidikan Nonformal dan Informal (KoPNFI), disusul oleh PHI, Jaringan Pendidikan Alternatif (JPA), dan Asosiasi Sekolahrumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena). PHI sendiri mengajukan keberatan klaim pelibatan publik yang bermakna karena proses kegiatan diskusi terpumpun ini tidak memadai untuk disebut uji publik. Misalnya, tidak disebutkan secara resmi soal RUU Sisdiknas dalam perihal undangan; waktu pengiriman berkas draf RUU Sisdiknas oleh panitia terlalu dekat dengan acara sehingga peserta tidak cukup waktu untuk menelaah dengan saksama dan memberi masukan yang bermakna; surat tidak dilampiri agenda pertemuan dan daftar peserta Diskusi Terpumpun/Uji Publik; dokumen RUU tidak bisa diunduh dan hanya bisa diakses dan dibaca secara daring oleh e-mail terundang sehingga mempersulit proses penelaahan; sampai hari H, panitia tidak menyediakan naskah akademik terbaru; dan alokasi waktu yang disediakan bagi tiap organisasi untuk menyampaikan masukan, pendapat, atau pertanyaan hanya kurang lebih 5 (lima) menit. Kemdikbudristek Tetap Anggap Pelibatan Publik Terkait sikap penolakan tersebut, Anindito menyampaikan bahwa menurutnya kegiatan ini tetap upaya Kemdikbudristek melibatkan publik dalam proses penyusunan RUU Sisdiknas. “Tidak masalah apakah mau disebut uji publik atau diskusi terpumpun, yang penting substansinya Bapak/Ibu punya kesempatan untuk mencermati draf naskah, punya kesempatan untuk menyampaikan masukan, dan masukan itu bisa mempengaruhi substansi dan narasi draf ke depan. Buktinya antara draf Januari dan April sudah banyak perubahan berdasar masukan. Ini yang kami sebut partisipasi yang bermakna, dan sudah sesuai dengan semua regulasi pembentukan undang-undang.” Anindito mengingatkan bahwa apabila para pegiat atau praktisi pendidikan ingin mempengaruhi jalannya penyusunan draf RUU Sisdiknas, jalannya adalah dengan memberi masukan. “Akan lebih berdampak kalau masukan tertulis disertai alasan dan argumen. Semakin cepat diberikan kepada kami, semakin besar probabilitasnya mempengaruhi draf,” tambahnya. Di sisi lain, Anindito memberi disclaimer bahwa tidak semua masukan yang diterima Kemdikbudristek akan dijadikan materi RUU Sisdiknas. “Masukan tidak semuanya sejalan, banyak yang saling bertentangan. Sebagian diakomodasi, sebagian tidak. Jadi bisa mengecewakan, itu bukan sesuatu yang bisa kami hindari.” Alasan tidak bisa diakomodasinya semua masukan, menurut Anindito, juga terkait sinkronisasi dengan kementerian dan lembaga pemerintah lain. “Draf yang kami kirimkan sebagai usulan ke DPR haruslah merupakan kesepakatan pemerintah sebagai keseluruhan, bukan Kemdikbudristek sendiri. Yang bisa kami jamin adalah masukan itu dipertimbangkan untuk mempengaruhi substansi dan narasi naskah,” tutupnya. === Presentasi PHI di FGD Kemdikbudristek 18 April 2022 dan arsip PHI lain terkait RUU Sisdiknas dapat dibaca di tautan: Share it:
Pendidikan rumah adalah pendidikan dalam arti sesungguhnya bukan pembelajaran. Dan terjadi sebelum anak ke sekolah sampai dia dewasa dan lepas dari lingkungan rumah tersebut. Home schooling bukan pendidikan rumah yang dimaksudkan di atas, dan tdk masuk jalur informal karena home schooling sudah dirancang dsn dilaksanan oleh orang di luar keluarga anak, tidak berlangsung alami tetapi sebagai suatu rancangan alternatif dari jalur persekolahan. Oleh karena itu home schooling tidak memenuhi kaedah ipendidikan informal karea dibentuk secara resmi, dilakukan orang dewasa yang bukan keluarga pesertanya, dan dirancang utk menguassi kompetensi di luar utk kehidupan keluarga bahkan mendekati kompetensi persekolahan dan dirancang untuk melanjutkan studi ke jalur universitas. Jadi home schooling bukan pendidikan keluarga yang ada dalam kategori informal Reply
Saat ini memang publik banyak yang rancu tentang makna homeschooling, akibat banyaknya lembaga pendidikan nonformal yang memakai nama Homeschooling. Mas Hamid bisa baca artikel “Apa Itu Homeschooling” di rubrik Artikel kami. https://phi.or.id/2020/05/25/apa-itu-homeschooling/ Reply
Yang terpenting untuk homeschoolers adalah ujian penyetaraan yang tanpa syarat formalitas. Mungkin hanya satu syarat: cukup umur. Saat ini mau Kejar Paket B, harus punya ijasah SD/PktA, dan harus berjarak 3 tahun.. lalu mau ujian pkt C, harus punya pktB jarak 3 tahun.. Contoh kasus: anak usia 18 tahun, tanpa ijasah, harus ujian A, tunggu 3 tahun, ujian B, tunggu 3 tahun baru bisa ujian C. Sudah 24 tahun, mau kuliah S1 banyak PT yg membatasi umur.. Harusnya tanpa banyak syarat formalitas seperti itu. Cukup umur untuk ujian paket C bisa langsung ikut ujian, kalau lulus kan sudah menjadi bukti kompetensi si anak itu lulus setara SLTA. Dengan kata lain cukup ujian saja yang menentukan si anak ini sudah cukup belajar atau masih perlu belajar lagi. Reply