Anda di sini
Beranda > Berita > RUU Sisdiknas Berpotensi Rugikan Homeschooler, PHI Bersama Aliansi Desak DPR Tunda Pembahasan

RUU Sisdiknas Berpotensi Rugikan Homeschooler, PHI Bersama Aliansi Desak DPR Tunda Pembahasan

Jakarta, phi.or.id – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Terhadap UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2022. Di laman Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (selanjutnya disebut DPR), statusnya dinyatakan sudah dimulai. Yang disayangkan, proses penyusunan dan pembahasan draf RUU Sisdiknas tersebut serta naskah akademiknya terkesan berjalan tertutup dan tergesa-gesa. Menilik draf yang beredar, kontennya juga disinyalir berpotensi merugikan homeschooler.

Karena itulah, Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI) bergabung dengan Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Pendidikan (selanjutnya disebut Aliansi) mengirim surat terbuka kepada DPR RI agar pembahasan RUU Sisdiknas tersebut ditunda dulu sampai prosesnya memenuhi asas keterbukaan proses dan partisipasi publik yang bermakna. Perwakilan Aliansi menyampaikan hardcopy surat terbuka itu kepada Komisi X DPR pada hari Selasa (22/2) pagi lalu.

Kejanggalan Proses Penyusunan RUU Sisdiknas

Sejak awal tahun 2020, sudah terdengar kabar bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (selanjutnya disebut Kementerian) berinisiatif hendak mengupayakan revisi terhadap UU Sisdiknas. Namun, sejak itu belum ada lagi berita resmi lagi mengenai prosesnya.

Akhir Januari 2022, para pegiat pendidikan dikejutkan oleh informasi yang dibagikan di aplikasi percakapan bahwa Kementerian sedang melakukan uji publik untuk RUU Sisdiknas yang baru. Menurut informasi yang terkumpul, uji publik dilaksanakan pada tanggal 25 Januari serta 8, 10, dan 14 Februari 2022.

Anehnya, waktu uji publik sangat pendek dan undangannya terkesan sangat tertutup. Misalnya, uji publik pada tanggal 10 Februari 2022 dilaksanakan dalam waktu 2 jam dengan mengundang 10 organisasi. Menurut cerita individu yang ikut di dalam kegiatan tersebut, sebagian waktu saat uji publik digunakan untuk mendengarkan paparan Kementerian tentang RUU Sisdiknas yang baru.

Aliansi memberi catatan tentang tidak dilibatkannya perwakilan praktisi pendidikan alternatif, informal maupun nonformal dalam uji publik. Draf RUU dan naskah akademiknya juga sangat diproteksi, peserta “uji publik” dilarang keras membagikannya kepada pihak luar. Tiap lembar draf RUU dan naskah akademik dibubuhi tanda air (watermark) sehingga peserta akan kesulitan membagikannya tanpa ketahuan jatidirinya.

“Pengamanan dokumen seperti ini jelas mempersulit akses untuk publik bisa melihat, menganalisa, dan menguji argumen di dalamnya,” kata Dhitta Puti Sarasvati, juru bicara Aliansi, yang biasa dipanggil Puti. “Tertutupnya proses pengerjaan RUU Sisdiknas ini memunculkan pertanyaan: kepentingan siapa yang sebenarnya sedang diperjuangkan?” tambahnya.

Pesekolahrumah Berpotensi Dirugikan?

Membaca draf RUU Sisdiknas yang viral di dunia maya, dalam diskusi dengan para homeschooler senior, PHI mengumpulkan beberapa catatan tentang potensi pelemahan jalur pendidikan informal dan pembatasan hak bersekolahrumah dalam naskah tersebut.

Pertama, draf RUU mengganti diksi “pendidikan informal” menjadi “pembelajaran informal”, sementara diksi “pendidikan formal” dan “pendidikan nonformal” tetap dipakai seperti UU Sisdiknas yang ada, tidak diganti. Hal ini mengesankan adanya diskriminasi terhadap status anak yang menempuh proses belajar di luar lembaga, seperti para pesekolahrumah.

Kedua, pasal 27 ayat (2) dalam UU Sisdiknas saat ini tidak ada lagi dalam RUU tersebut. Pasal tersebut berbunyi: “Hasil pendidikan [informal] diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan”.

Penghapusan ini bertentangan dengan prinsip multi-entry, multi-exit serta bisa berimplikasi pembatasan pada praktik sekolahrumah serta hak anak pesekolahrumah untuk mengakses hak untuk berpindah jalur pendidikan, kuliah, dan bekerja yang setara dengan lulusan sekolah formal dan lembaga pendidikan nonformal.

Ketiga, secara umum, draf RUU Sisdiknas yang baru ini cenderung memperkuat formalisasi sistem pendidikan dan mengabaikan model pendidikan informal berbasis keluarga dan masyarakat. RUU kurang mengakui dan membuka partisipasi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan non-lembaga yang dikelola secara mandiri, dan kurang membuka ruang pengakuan terhadap kualitas pendidikan berbasis keluarga dan masyarakat.

Catatan ini tentu saja sifatnya masih tentatif, mengingat draf yang beredar tersebut belum dirilis remi oleh Kementerian atau DPR. Untuk langkah selanjutnya, PHI mengupayakan mendapatkan naskah resmi dari kedua lembaga tersebut sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Penilaian yang lebih final baru bisa dilakukan sesudah naskah resmi itu diperoleh.

Pembuat Kebijakan Harus Ikuti Kaidah

Sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi, publik berhak berpartisipasi dan memantau pembuatan kebijakan publik. Keterbukaan menjadi salah satu hal yang harus diindahkan menurut pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“RUU Sisdiknas akan mempengaruhi jalannya seluruh proses pendidikan di Indonesia, aturan sebesar ini perlu dikembangkan dengan hati-hati, jadi justru prosesnya harus transparan,” tegas Puti. “Jangan sampai mengulangi kasus Omnibus Law yang menimbulkan perselisihan berkepanjangan karena prosesnya tidak transparan dan kurang melibatkan partisipasi publik.”

Dihubungi secara terpisah, Koordinator Nasional PHI Ellen Nugroho memberi catatan bahwa akan tidak realistis kalau dalam membuat kebijakan publik, pemerintah memakai gaya top-down. “Setiap isu itu kompleks, jadi tidak realistis kalau pemerintah merumuskan sesuatu tanpa berusaha memahami detil persoalan dari sudut pandang pegiat isunya. Misalnya, kalau mau mengatur soal pendidikan informal, penyusun naskah RUU harusnya menanyakan aspirasi pesekolahrumah,” kata ibu tiga anak homeschooler ini.

Desakan untuk DPR dan Langkah Selanjutnya

Ada sejumlah organisasi komunitas, dan individu yang bergabung dengan Aliansi, yakni Jaringan Pendidikan Alternatif (JPA), Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Rumah Inspirasi,Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta, Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI), Pusat Riset Pendidikan Masa Depan (PRPMD), Yayasan Peduli Musik Anak Indonesia (YPMAI), Sanggar Anak Akar, Jimmy Ph Paat, Dhitta Puti Sarasvati, Susilo Adinegoro (Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Pergerakan Pendidikan Nusantara), Fatma Susanti (Komunitas Pendar Aceh), Edi Subkhan dan Zulfa Sakhiyya (UNNES), Vina Adriany dan Hani Yulindrasari (UPI), dan Teguh Wijaya Mulya (Universitas Surabaya).

Yang diminta oleh Aliansi dalam surat terbuka adalah agar DPR RI:

  1. Menunda pembahasan RUU Sisdiknas dalam prolegnas 2022 sampai setidaknya satu tahun, agar Uji Publik terkait RUU Sisdiknas ini bisa dilakukan secara lebih masif dan disertai kajian mendalam.
  2. Segera melakukan sosialisasi naskah akademik dan draf RUU Sisdiknas kepada publik secara luas.
  3. Mengunggah materi-materi terkait RUU Sisdiknas dalam bentuk dokumen yang dapat dibuka oleh siapa saja di laman resmi Kemendikbud Ristek RI.
  4. Menyediakan jalur kepada masyarakat untuk dapat memberikan kritik dan saran terkait pembuatan RUU Sisdiknas.

 

Terkhusus kepada para homeschooler di seluruh Indonesia, Ellen berharap agar semua homeschooler turut memantau perkembangan pembahasan RUU Sisdiknas yang baru ini. “Ini menyangkut nasib anak-anak kita ke depannya, jadi mari kita upayakan partisipasi seoptimal mungkin untuk memastikan kebijakan yang akan dibuat akan ramah homeschooler.”

===

Sumber foto: tirto.id

Leave a Reply

Top