Anggota BSNP Doni Koesoema: Sekolahrumah Tren Pendidikan Masa Depan Berita by Ellen Kristi - 23 April 202123 April 20210 Post Views: 199 Semarang, phi.or.id – Apabila kita mengikuti perkembangan sejarah pendidikan, sekolahrumah sangat mungkin menjadi model pendidikan yang akan dipilih oleh banyak warga negara di masa depan. Fleksibilitas yang disediakan oleh sekolahrumah akan memungkinkan anak-anak mendapat pendampingan yang disesuaikan dengan cita-cita mereka yang berbeda-beda. Hal itu disampaikan oleh anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Doni Koesoema saat menjadi salah satu pemberi arahan di rapat daring pertama dari 14 pertemuan yang direncanakan BSNP untuk menyusun standar sekolahrumah pada hari Jumat (23/4). Pendidikan Terindividualisasi Lebih Relevan Doni menguraikan bahwa pendidikan mulanya muncul sebagai praktik berbasis keluarga. “Di Romawi Kuno, anak belajar dari orangtuanya. Kalau orangtuanya menjabat sebagai senator, anaknya akan mengikuti, melihat cara bapaknya mengadili, mengembangkan aturan, berkomunikasi, dan berdiskusi. Dengan begitu keluarga menjadi contoh buat anak.” Namun sayangnya pendidikan berbasis keluarga yang bermutu di masa lalu masih bersifat elitis. Yang bisa mengakses adalah para bangsawan, sementara kaum budak terpinggirkan. Pendidikan yang bersifat massal baru mulai disediakan pada abad ke-15, dan baru relatif merata dan bisa dijangkau oleh rakyat kebanyakan pada abad ke-20. Lalu mulai disadari problem baru, yakni pendidikan massal yang tersedia bersifat terpusat dan serba seragam. Model pendidikan yang demikian makin lama makin tidak relevan seiring perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Saat ini ada tren masyarakat kembali meminati pendidikan yang dipersonalisasi, dan sekolahrumah termasuk opsi itu. “Konsep pendidikan terdiversifikasi yang masih dipakai di PP 57 [Peraturan Pemerintah No. 57 Th. 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan – red.] dan UU Sisdiknas [Undang-Undang No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional – red.] itu pun sudah jadul. Yang lebih tepat sekarang adalah pendidikan yang terindividualisasi. Nah, sekolahrumah bisa menyediakan hal ini,” tutur Doni. Dalam sekolahrumah, orangtua bisa memilih siapa pun untuk menjadi pendidik buat anaknya. “Standar pendidiknya merdeka, bahkan profesor pun bisa diminta untuk mengajar anak-anak usia SD, ini yang sulit dilakukan di sekolah formal karena ruangnya terbatas, sementara di pendidikan informal lebih bebas,” lanjut Doni. “Pendidikan informal ruang lingkupnya lebih luas, fleksibel, bisa mengubah-ubah kurikulum, bisa mengikuti perkembangan, ini cocok dengan zaman yang berubah cepat sekali,” kata Doni. “Sementara di sekolah formal, saat anak lulus sekolah, yang dipelajari bisa-bisa sudah tidak relevan lagi, karena sudah berubah semuanya.” Pendidikan Informal Masih Terdiskriminasi Catatan lain yang diberikan oleh Doni adalah masih adanya diskriminasi bagi peserta didik yang menjalani pendidikan berbeda dari sekolah formal. Sejauh ini, menurutnya, perundangan yang secara eksplisit menyatakan perlunya pola asesmen berbeda untuk anak yang kebutuhannya berbeda baru Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Misalnya, poin soal asesmen untuk anak tunarungu atau tunanetra tidak bisa disamakan dengan anak lain. Selama ini anak-anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas masih sering didiskriminasi. Peserta didik sekolahrumah Doni lihat sebagai bagian dari kelompok yang terdiskriminasi juga. “Saat ini punya ijazah kesetaraan Paket C itu masih jadi syarat untuk bisa mendaftar ke perguruan tinggi. Padahal sekolahrumah itu kan jalur pendidikan informal, tidak selalu mementingkan punya ijazah kesetaraan, tapi terpaksa harus ikut sertifikasi formal, kalau tidak nanti tidak bisa kuliah.” Bergabung di PKBM pun belum sepenuhnya mengatasi diskriminasi ini. “PKBM adalah jalur pendidikan nonformal, sementara sekolahrumah itu informal, jalur pendidikan oleh keluarga dan lingkungan, bukan nonformal. Lalu nanti anak sekolahrumah yang ada di PKBM diharuskan ikut ujian kesetaraan yang beda sekali dengan yang mereka pelajari sehari-hari,” kata Doni. Menurut Doni, harusnya semua jalur pendidikan – baik formal, nonformal, dan informal – punya hak yang sama. Ke depannya perlu dirancang kebijakan agar untuk mendaftar ke perguruan tinggi, anak-anak tidak perlu disyaratkan punya ijazah kesetaraan. Asal lolos tes ujian masuk kampus, berarti dia sudah punya kompetensi yang cukup untuk mengikuti perkuliahan. Sekolahrumah Pun Perlu Ada Standarnya Doni menyadari bahwa bisa saja sebagian praktisi sekolahrumah merasa curiga atau khawatir dengan langkah BSNP menyusun standar sekolahrumah, berpikir: “BSNP kok sekarang mengurusi sekolahrumah ya? “ atau “Wah, nanti kami pegiat sekolahrumah diatur-atur oleh pemerintah.” Harapan Doni, kecurigaan atau kecemasan seperti itu tidak perlu terjadi. “Dalam perumusan standar ini, konsepnya adalah mendengar suara dari bawah, kami di BSNP menggali pengalaman di lapangan seperti apa, baru diregulasi. Bukan kebalikannya, kementerian punya gagasan tentang sekolahrumah lalu memaksa praktisi melaksanakannya. Itu tidak demokratis. Nanti akan ada banyak protes.” Doni kembali pada definisi pendidikan di UU Sisdiknas sebagai usaha yang sadar dan terencana. “Kalau sekolahrumah, siapa yang merencanakan? Orangtualah yang harus punya usaha sadar dan terencana supaya anak-anak mampu mengembangkan potensi diri, bisa meregulasi diri, punya akhlak mulia, keterampilan yang dibutuhkan dirinya, bangsa, dan negara,” katanya. Karena itulah, kata Doni, standar diperlukan supaya tidak terjadi kekosongan regulasi. Peraturan harus tetap ada tapi menjaga semangat fleksibilitas sekolah rumah. “Jadi sudut pandangnya harus positif dan optimis. Kami persilakan tim menggagas seperti apa pendidikan masa depan yang sungguh inovatif, yang sesuai fakta di lapangan, bisa mengungkit kualitas pendidikan, dan menjadi jalan mencerdaskan kehidupan bangsa” dorongnya. Rumuskan Yang Prinsip, Detilnya Jangan Kaku Tantangan tim pengembangan standar sekolah rumah dari perspektif Doni adalah menyusun klausul-klausul yang memuat prinsip-prinsip mendasar, tanpa mengurangi fleksibilitas praktisi. “Misalnya di UU Sisdiknas disebutkan wajib ada pelajaran agama, Pancasila dan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, IPA dan IPS, berarti muatan ini harus ada tapi isinya apa, jangan sampai tidak relevan, misalnya, anak yang ingin jadi musisi dipaksa belajar materi fisika dan kimia yang tidak dia perlukan.” Saat mendesain naskah akademik, Doni mengingatkan tim untuk terus mengingat prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam pasal 4 ayat 1 UU Sisdiknas yang berisi enam butir: Pertama, pendidikan harus demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. “Jadi, misalnya, tidak boleh tidak ada pendidikan agama,” kata Doni. Kedua, pendidikan adalah satu kesatuan dengan sistem terbuka dan multimakna. “Tiap anak punya kemerdekaan untuk memaknai pendidikan secara berbeda,” terangnya. Ketiga, pendidikan adalah pembudayaan dan pemberdayaan sepanjang hayat. “Kita ingin hasil akhirnya anak-anak yang pembelajar, mereka tidak harus belajar semuanya karena belum tentu mereka butuh semuanya, tapi saat dia butuh, anak itu punya semangat belajar, nah itu perlu diformulasikan dalam metode atau pedagogi sekolahrumah,” jelasnya. Keempat, pendidikan harus memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik. “Anak pesekolahrumah harus mendapat teladan dari bapak ibunya, dari komunitasnya, dibangun kemauannya sesuai minat bakat masing-masing, dan dilibatkan dalam proses belajar,” kata Doni lagi. Kelima, pendidikan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung. “Literasi ini adalah soal bagaimana membaca, menulis, dan berhitung itu bisa membudaya di seluruh masyarakat,” imbuhnya. Keenam, pendidikan melibatkan semua komponen masyarakat. “Aspek keenam ini sangat mungkin terjadi dalam sekolah rumah, ada sharing resources, bahkan pembelajaran level global, mengakses sumber belajar dari berbagai negara,” ujarnya. “Jadi yang perlu dirumuskan itu poin-poin pentingnya, yang wajib ada saja, seperti yang sudah digariskan UU Sisdiknas, tapi fleksibel. Kalau prinsip-prinsipnya sudah ada, nanti direktorat akan bisa menurunkan jadi aturan teknis yang lebih detil,” kembali Doni menekankan. Kembali ke Hakikat, Berpikir Visioner Doni memahami betul bahwa peran orangtua dan fleksibilitas adalah hal yang kunci dalam sekolahrumah. “Sekolahrumah itu pendidikan yang dijalankan oleh keluarga dan lingkungan, sifatnya cair, fleksibel, memungkinkan proses personalisasi anak-anak. Tidak semuanya mengarah ke ujian kesetaraan, ada yang mungkin tidak mau dipaksa mengikuti K13 [Kurikulum 2013 – red.], itu tidak apa, meski bukan berarti tidak ada panduannya. Itulah yang perlu diatur,” katanya. Penulis aneka buku bertema pendidikan karakter ini menyampaikan pula kegelisahannya melihat fenomena sekolah rumah yang dikooptasi oleh kepentingan bisnis. “Itu mungkin biasa ya, dalam sekolah rumah pun ada demand maka ada supply, terbuka pasar, dan orang berjual beli. Kita perlu mempertanyakan apakah PKBM-PKBM yang melayani anak-anak sekolahrumah itu benar-benar murni mengembangkan anak-anak ini atau sekadar bisnis. Di sini bisa terjadi penyelewengan kalau tidak diregulasi, tidak diawasi, tidak dikontrol,” paparnya. Yang harus sama-sama diinginkan semua pihak, menurut Doni, adalah agar anak-anak mendapat layanan pendidikan yang baik, mendapatkan haknya atas pengalaman belajar yang baik. Perlindungan itu harus masuk dalam isi standar sekolah rumah yang akan disusun. “Kita butuh pendidikan yang lebih rileks dan visioner. Kalau naskah akademik ini selesai, ini bisa jadi sumbangan bagi perubahan UU Sisdiknas, karena ke depannya jalur dan jenjang pendidikan itu akan makin blended, jadi tidak perlu kaku, yang penting tujuan pendidikan tercapai. “Fleksibilitas sekolahrumah itulah yang harus dipertahankan. Anak-anak bisa maju sendiri. Anak-anak punya cita-cita yang berbeda jadi harus didampingi secara berbeda-beda pula. Keberagaman ini akan jadi tren, dan ini tidak selalu bisa didapatkan dari sekolah formal. Kita harus bantu tata dan atur agar anak-anak mendapat pendidikan berkualitas, menjadi SDM masa depan yang lebih baik,” pungkasnya. Share it: