Anda di sini
Beranda > Cerita > Kisah Kami Mengatasi Keraguan Memilih Homeschooling

Kisah Kami Mengatasi Keraguan Memilih Homeschooling

“Anakmu kelas berapa?” Ini pertanyaan yang jamak dilontarkan teman atau kerabat pada saya dan suami.

Ketika saya menjawab anak-anak belajar di rumah, pertanyaan berlanjut, “Mengapa memilih homeschooling?”

Wah, jawabannya tidak bisa satu dua kata. Bagi kami, memilih homeschooling adalah hasil dari suatu proses panjang memantapkan keyakinan tentang visi pendidikan keluarga kami.

Bikin Sekolah Sendiri

Saya dan suami sejak dulu cocok karena kami sama-sama suka belajar, suka membaca (boros kalau belanja buku), dan suka ngobrol bareng. Kami juga sama-sama ingin memberi pendidikan yang terbaik bagi anak-anak.

Semula, waktu anak masih kecil-kecil, kami lebih pilih bersama teman-teman mendirikan PAUD. Pikir kami, kalau punya PAUD sendiri, anak-anak kami terjamin kualitas pendidikannya dan sekolahnya tidak jauh dari rumah.

Begitulah dua anak pertama kami full bersekolah di PAUD. Lalu dari PAUD mereka melanjutkan ke sekolah dasar. Anak-anak tampak suka bersekolah.

Tidak Yakin Mampu Homeschooling

Ketika pertama kali kenal internet, sebelum anak-anak lahir, saya berselancar masuk ke beberapa grup diskusi daring (mailing list). Salah satunya milis Sekolah Rumah. Dari milis itulah saya berkenalan dengan konsep pendidikan berbasis keluarga, homeschooling.

Sebetulnya dalam hati saya muncul rasa tertarik tapi saya pikir: sepertinya sulit diwujudkan, saya dan suami sama-sama kerja. Jadi saya tidak memikirkannya lebih serius. Interaksi dengan para homeschooler pun sempat terhenti, karena kesibukan saya bekerja dan lahirnya anak-anak.

Bertahun-tahun kemudian, saat hamil anak ketiga sembari menyelesaikan tesis yang molor, saya mulai memakai Facebook. Ternyata di FB saya jumpa lagi dengan para homeschooler yang dulu aktif di milis. Minat saya tumbuh lagi.

Ikutlah saya di webinar tentang homeschooling dari Rumah Inspirasi-nya Mas Aar Sumardiono. Webinar itu dilaksanakan beberapa sesi selama beberapa pekan. Gairah saya semakin naik dalam mempelajari persekolahrumahan. Namun dalam hati saya masih pesimis, apakah kami mampu menyekolahrumahkan anak-anak?

Anak-anak yang Minta

Selama mengikuti webinar, setiap usai satu sesi, saya selalu diskusi dengan suami. Materi webinar saya sampaikan ke suami. Karena memang tertarik isu pendidikan, setiap topik menjadi diskusi yang intens.

Ketika diskusi, tidak jarang anak-anak ikut menyimak, terutama si sulung Azmi. Sesekali ketika saya berselancar di Facebook, saya perlihatkan ke Azmi kegiatan anak-anak homeschooler yang diunggah oleh teman-teman praktisi.

Tak dinyana, memasuki sesi-sesi akhir webinar, tiba-tiba-tiba suatu pagi suami berkata, “Tahu nggak apa yang Azmi bilang? Dia ingin homeschooling.” Mendengarnya saya merasa senang bercampur tegang, tertantang.

Mengambil Keputusan

Kami tanyai lagi Azmi, kami ingin dia menegaskan: apakah benar-benar ingin homeschooling? Ternyata dia serius. Eh, kejutan lagi, si adik Zahra, yang sepertinya suka sekolah, juga bilang ingin homeschooling kalau kakaknya homeschooling.

Setelah sekian ronde lagi berdiskusi baik antara saya dan suami maupun kami dan anak-anak, akhirnya kami mantap dengan keputusan untuk menjalani homeschooling. Ini terjadi pada bulan Juli tahun 2011, menjelang tahun ajaran baru. Azmi saat itu duduk di kelas 2 SD, Zahra kelas 1 SD.

Saya dan suami ke sekolah anak-anak, pamit dengan baik-baik, serta menjelaskan bahwa anak-anak akan belajar di rumah. Kami “resmi” menjadi keluarga homeschooler. Termasuk nanti si bungsu Arunia pun mengikuti jejak kakak-kakaknya.

Sumber Belajar Online

Kalau dikenang kembali, fase awal homeschooling kami penuh kenekatan, tapi justru seru. Saya yang sibuk dengan penyelesaian tesis, ditambah suami yang baru memulai bisnisnya, klop dengan konsep homeschooling kami yang belum matang.

Saat itu di Malang, belum ada komunitas homeschooling, jadi kami bergerak sendiri. Kami lebih banyak mencari jejaring dan berkomunikasi dengan praktisi HS di berbagai kota lainnya melalui media sosial.

Media sosial banyak membantu saya dalam belajar tentang persekolahrumahan. Berteman dengan para praktisi homeschooling yang beragam, memunculkan banyak inspirasi untuk proses belajar anak-anak.

Bereksperimen Sampai Ketemu

Pada awalnya, kami menerapkan metode school at home di rumah. Suami yang mengajar anak-anak. Namun itu tidak bertahan lama. Kami capek, anak-anak juga capek.

Sempat mengalami deschooling cukup lama, kami dan anak-anak bereksperimen dengan kemerdekaan belajar. Untungnya, kontrakan rumah berada di dekat sawah dan berdekatan dengan kaplingan kosong, lingkungan tetangga juga mendukung, jadi anak-anak bisa berproses dengan tenang.

Akhirnya Azmi dan Zahra menemukan bidang yang mereka ingin tekuni. Zahra menekuni dunia literasi, didukung oleh banyak buku di rumah. Sementara Azmi menekuni komputer dengan segala hal ihwalnya, berbekal perangkat yang kami punya.

Merefleksikan Hakikat Belajar

Saat ini kami semakin sadar bahwa belajar adalah hak bagi anak manusia. Sejak lahir, manusia telah diberi karunia Tuhan dengan perangkat yang memungkinkan manusia untuk belajar. Dalam bahasa kerennya, manusia diberikan kemampuan curiosity atau fitrah belajar.

Ketika kecil, anak-anak suka bertanya, menanyakan hal-hal yang menggugah rasa ingin tahu mereka melihat dunia. Sayangnya, curiosity seringkali menghilang karena orang tua seringkali mengabaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dan ketika anak-anak tumbuh besar, pertanyaan-pertanyaan itu sudah tidak lagi muncul dari mereka.

Kami merasa bersyukur dulu sudah berani memutuskan untuk homeschooling. Lewat homeschooling kami bisa memenuhi hak anak kami untuk belajar dan memelihara rasa ingin tahu mereka.

Bagaimana Agar Mantap Memilih Homeschooling?

Nah, berdasarkan pengalaman, menurut kami ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar orang tua mantap menjalani homeschooling.

Pertama, siap belajar.

Menjadi orang tua merupakan amanah sekaligus anugerah. Membangun gedung saja manusia butuh perencanaan yang matang, apalagi membangun generasi masa depan. Perkenankan saya mengambil satu perkataan Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad SAW yang mengatakan,

Didiklah anakmu karena dia akan hidup di masa yang berbeda dengan kamu.

Ungkapan tersebut memberi pesan bahwa orang tua harus terus belajar agar bisa menyiapkan anak-anaknya mengarungi kehidupan yang berbeda dengan dunia orang tuanya.

Kesediaan untuk terus belajar ini semakin penting ketika orang tua memilih homeschooling sebagai jalur pendidikan bagi anak-anaknya. Homeschooling adalah proses belajar di mana kendali berada di tangan orang tua sepenuhnya, mulai dari masalah kurikulum, proses, keseharian, sampai evaluasi. Mau mendatangkan guru untuk materi-materi tertentu, atau mengirim anak ke lembaga kursus tertentu? Semuanya jadi kewenangan orang tua.

Kedua, lakukan riset.

Risetlah kecil-kecilan. Kami merasa penting sekali belajar pada para praktisi homeschooling, keluarga-keluarga yang telah lebih dulu mendidik sendiri anak-anak mereka. Saya dulu mulai dari stalking media sosial atau blog para mastah, itu membantu membuka cakrawala saya tentang persekolahrumahan.

Pilihan lain, ikut bergabung dengan komunitas keluarga homeschooler di daerah kita, jika sudah ada.

Untuk memantapkan hati, mengikuti kelas-kelas khusus yang sekarang ini banyak tersedia di internet bisa membantu. Hal yang perlu diperhatikan adalah penyelenggaranya merupakan praktisi homeschooling langsung, bukan lembaga berlabel homeschooling. Kroscek betul siapa pemateri dan penyelenggaranya.

Dari mengikuti kelas-kelas para praktisi, seperti webinar dari Mas Aar Sumardiono (Rumah Inspirasi), selain mendapatkan materi teoritis, saya juga bisa berjejaring dengan keluarga-keluarga yang memiliki visi dan keinginan yang sama. Jaringan ini penting bagi keberlanjutan homeschooling keluarga kami, yang saat itu belum memiliki komunitas offline.

Kelas parenting pun kini telah banyak tersedia. Saya dulu banyak belajar dari kelas-kelas online Bu Septi Peni Wulandani tentang bagaimana menjadi orang tua.

Ketiga, baca buku-buku.

Buku-buku membukakan wawasan tentang berbagai metode homeschooling. Salah satu buku yang mempengaruhi proses homeschooling saya adalah “Cinta yang Berpikir” (Ellen Kristi) yang merangkum metode Charlotte Mason. Meski saya tidak menerapkan secara penuh, metode Charlotte Mason sangat memberikan pengaruh pada proses homeschooling kami.

Sementara untuk konsep-konsep pendidikan, tulisan-tulisan Harry Santosa yang memaparkan konsep pendidikan berbasis fitrah juga memberikan pengaruh pada konsep pendidikan kami.

Keempat, rumuskan visi keluarga.

Setiap manusia mungkin punya visi masing-masing yang bersifat personal, tapi ketika menikah, perlu dibangun visi bersama agar sinergi antar suami dan istri, terutama terkait arah pendidikan bagi anak-anak ke depannya.

Saya dan suami sudah sering mengobrol siang malam, tapi visi keluarga kami secara verbal baru terumuskan pada tahun 2016, ketika mengikuti kegiatan yang diselenggarakan Padepokan Margasari yang dilaksanakan di kaki bukit Menoreh. Sampai sekarang kami masih menggunakan tagline “Rumah Belajar Idaman” sebagai visi keluarga kami.

Terakhir, nekat.

Nekat di sini dalam arti keberanian bertindak kalau sudah memiliki pengetahuan cukup, bukan asal nekat, terjun tanpa ada pengetahuan sama sekali. Seperti kata iklan, buat anak kok coba-coba.

Setelah belajar dan berproses, azam (tujuan) harus diwujudkan. Dengan bismillah, wujudkan niat dengan berbuat, sambil belajar dan berproses terus.

==

Ditulis oleh Idaul Hasanah, ibu dari tiga anak homeschooler, bermukim di Malang.

One thought on “Kisah Kami Mengatasi Keraguan Memilih Homeschooling

Leave a Reply

Top