Anda di sini
Beranda > Artikel > Mengenal Metode Pendidikan Waldorf

Mengenal Metode Pendidikan Waldorf

Di dunia, sekolah Waldorf sudah eksis sejak seabad lalu dan tersebar di puluhan negara. Belakangan malah viral berita bahwa para petinggi perusahaan teknologi papan atas – seperti Google, Apple, Yaho, Hewlett-Packard, juga e-Bay – memilih menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah Waldorf yang justru menjauhkan anak dari perangkat komputer.

Namun di Indonesia, pendidikan Waldorf terbilang baru berkembang. Belum banyak yang pernah mendengarnya, meski gaungnya mulai meluas di kalangan orangtua peminat pendidikan alternatif. Sudah ada juga sebagian keluarga homeschooler yang merasa cocok dengan metode ini dan memutuskan untuk menjadi praktisinya.

Seperti apa konsep-konsep dasar pendidikan Waldorf? Orangtua mana yang cocok untuk menjalaninya? Seperti apa praktik keseharian penerapannya dalam keluarga homeschooler? Berikut kurang lebihnya.

***

Metode pendidikan Waldorf digagas oleh Rudolf Steiner (1861-1925), seorang filsuf, arsitek, dan spiritualis berkebangsaan Austria. Steiner berangkat dari premis bahwa manusia sejatinya adalah makhluk spiritual dan harus dididik secara holistik supaya bisa menjalankan amanatnya selama hidupnya di bumi saat ini.

Steiner menjelaskan bahwa manusia itu punya tiga poros yang harus dikembangkan, yakni tangan, hati, dan kepala (hand, heart, head). Istilahnya, threefold human being.

  • Tangan dan kaki ada di poros bawah, melambangkan aktivitas, berkegiatan, dan bekerja yang dipimpin oleh kehendak (willing).
  • Hati ada di poros tengah, merjuk pada sistem ritmik, pernapasan, peredaran darah, juga pencernaan, tempatnya kegiatan mengolah rasa berlangsung (feeling).
  • Kepala atau sistem syaraf-indra ada di poros atas, melambangkan aktivitas berpikir (thinking).

Konsepnya tentang manusia itu Steiner jabarkan lebih lanjut menjadi tahap perkembangan manusia, yang kemudian akan menjadi landasan kurikulum pendidikan Waldorf.

***

Menurut metode Waldorf, masa hidup seorang anak terbagi menjadi tiga tahap yang terpilah, tiap tahap panjangnya sekitar tujuh tahun. Semua kurikula dan metode belajar-mengajar harus disesuaikan dengan kekhasan tiap tahap perkembangan ini.

Tahap Pertama: Usia 0-7 Tahun

Anak baru saja lahir dan tiba di Bumi, rohnya baru saja tiba di raga yang dimilikinya, maka aktivitas utamanya adalah mengenali dan mengeksplorasi lingkungan dengan semua indranya. Yang sangat dibutuhkan anak pada fase ini adalah keyakinan tentang “dunia yang baik”. Keyakinan bahwa dunia itu aman akan membuat anak berani menjelajah bebas, mengenali dunia barunya ini.

Pada tahap ini, anak belajar paling efektif melalui cara meniru (imitasi) dan belajar sambil bermain. Apa yang diulang-ulang kerjakan oleh orangtua, anak otomatis ingin menirukannya. Oleh karena itu, penting orangtua berusaha memberi teladan yang baik, yang layak dicontoh oleh anak, menyemangatinya untuk menyelidiki alam sekitar, berelasi dengan sesama makhluk dan sesama manusia, serta mengembangkan daya imajinasi.

Pembelajaran anak di fase pertama perlu ditata dalam ritme yang teratur (harian, mingguan dan tahunan). Ritme rutin akan membantu anak merasa aman. Kemudian anak juga butuh waktu untuk bermain bebas yang melimpah, baik di dalam ruangan dan di luar.

Dari adanya ritme keseharian plus adanya teladan dari orangtua, maka anak tidak perlu diberi banyak instruksi lagi. Sesedikit mungkin memberikan instruksi pada anak di masa awal kanak-kanak ini penting untuk memberi ruang bagi kehendaknya (will) untuk untuk tumbuh kuat. Semua proses ini akan menjadi fondasi penting untuk perkembangan intelektual, emosional, dan fisik anak di tahap-tahap selanjutnya.

Tahap Kedua: Usia 7-14 Tahun

Anak mulai siap masuk kegiatan terstruktur. Jika di tahap sebelumnya anak menumbuhkan kehendak (will), maka pada tahap ini anak mengenal dan mengolah rasa (feeling). Dengan demikian penting bagi anak untuk mengalami “dunia yang indah”.

Selama periode ini, diyakini anak belajar paling efektif jika perasaannya disentuh dan daya kreatifnya dihidupkan. Itu sebabnya pembelajaran diantarkan melalui pendekatan yang imajinatif dan artistik sehingga anak terbiasa menghasilkan keindahan.

Kurikulum Waldorf untuk periode ini kaya dengan kisah dongeng, fabel, mitologi, dan biografi menggugah para tokoh sejarah. Orangtua perlu mengintegrasikan kegiatan mendongeng (storytelling), drama, gerak, warna-warni, dan musik, sehingga setiap materi pelajaran terasa hidup di hati anak.

Di tahap ini, proses belajar anak masih dipandu oleh orangtua. Selain membimbing anak dalam proses akademis formal, orangtua juga bertugas membangkitkan kesadaran moral anak dan apa perannya di dunia ini.

Tahap Ketiga: Usia 14-21 Tahun

Periode ini menandai berkembangnya kemandirian intelektual anak. Setelah imajinasinya terpupuk dan terolah matang, anak mengembangkan akal (thinking) yang kreatif. Di tahap ini, penting bagi anak dihadapkan pada pemikiran tentang “dunia yang benar/jujur”.

Anak didorong untuk belajar dari kisah hidup orang-orang yang memiliki renjana (passion) di bidangnya, mendekat pada sosok-sosok yang memiliki buah pikiran yang otentik sebagai sumber inspirasi. Informasi yang didapatkan itu akan jadi bahan olahan di kepala ana, memberinya pertimbangan-pertimbangan dalam hidup.

Di usia ini, anak makin diberikan banyak otonomi atas arah pendidikan mereka sendiri sambil terus dibimbing oleh orang-orang dewasa yang punya kepakaran di bidangnya.

***

Dalam setiap fase pertumbuhan anak (manusia), Steiner meyakini bahwa pembelajaran diperoleh dari pengalaman indrawi, mulai masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa.

Pembelajaran dalam pendidikan Waldorf dilakukan dengan menyelaraskan 3 R (Ritme, Repetisi, Rasa Takzim).

  • Ritme berarti kegiatan dilakukan selaras sesuai ritme kehidupan.
  • Repetisi berarti kegiatan dilaksanakan berulang-ulang selama rentang waktu tertentu sehingga menjadi sesuatu yang melekat.
  • Rasa takzim berarti membangun respek dan memberi makna pada yang sedang dikerjakan; respek juga ditujukan pada makhluk hidup serta lingkungan, sehingga tumbuh syukur, belas kasih, juga empati dalam diri anak.

Seperti bernapas, dalam kehidupan keseharian maupun di fase belajar terstruktur, ada saatnya anak harus fokus (breathing in) dan ada saatnya anak rileks dan melepas (breathing out). Misalnya, awali hari dengan kegiatan bebas (breathing out), lalu masuk ke pelajaran utama (breathing in), setelah itu bermain bebas lagi (breathing out), dst.

Orangtua menata ritme rutinitas keseharian anak sesuai dengan konteks kehidupan keluarga. Tentukan mana yang ritme harian, ritme mingguan, ritme bulanan, atau ritme tahunan.

Contoh ritme harian:

  • pagi hari: bangun pagi, sarapan, mandi, circle time, bermain bebas di luar rumah.
  • siang hari: main bebas di dalam rumah, mendongeng, tidur siang
  • sore hari: les, mandi, waktu kumpul keluarga
  • malam hari: mendongeng, tidur malam

Contoh ritme mingguan (untuk anak prasekolah):

  • Senin: modelling clay
  • Selasa: nature walk
  • Rabu: merajut/menjahit
  • Kamis: melukis
  • Jumat: menggambar
  • Sabtu:memasak
  • Minggu: bebas

Untuk transisi ke fase belajar akademis, orangtua harus melihat tanda-tanda kesiapan anak, misalnya kematangan motoriknya. Itu sebabnya di fase tujuh tahun pertama, anak harus dibuat leluasa bermain bebas.

Setelah masuk fase terstruktur, anak akan belajar akademis dengan konsep “blok pembelajaran”. Dialokasikan rentang waktu yang cukup panjang (antara 2-5 minggu) dengan durasi sesi belajar utama (main lesson) sepanjang sekitar 2 jam tiap hari. Main lesson yang panjang ini untuk memudahkan anak berproses melalui setiap tahapan dengan perlahan, sehingga hal yang awalnya sulit pun lama-lama jadi terasa mudah.

***

Pendidikan Waldorf sangat menekankan proses pembelajaran dilakukan melalui seni dan bercerita. Proses pembelajaran akan selalu diawali dengan storytelling. Lalu nanti pengenalan huruf akan dimulai dengan menggambar bentuk dan menggunakan cerita-cerita untuk memberi ank gambaran huruf, sebelum akhirnya anak dikenalkan dengan simbol huruf.

Karenanya, orangtua praktisi Waldorf juga perlu berlatih untuk bisa bercerita tanpa membaca buku, terutama saat sudah masuk sesi belajar utama (main lesson). Selain belajar mendongeng, orangtua juga nantinya mesti belajar aneka prakarya seperti merajut, olah kayu, melukis, menggambar, dll.

Yang cocok menjadi praktisi Waldorf adalah keluarga pemelajar yang meyakini bahwa setiap manusia itu unik, punya misinya masing-masing di Bumi; keluarga yang ingin ada pembelajaran terstruktur, sekaligus ruang bebas untuk eksplorasi diri; keluarga yang meyakini bahwa manusia itu makhluk spiritual berporos tiga, yang harus dikembangkan bukan hanya raganya melainkan juga dipelihara jiwanya, dan perlu diseimbangkan antara kehendak, perasaan, dan pikirannya.

Catatan: Tulisan ini disarikan dari bahan dan percakapan Ngobrol Daring PHI sesi #12 tentang Waldorf Education.

Sumber foto: Waldorf School of Peninsula, wikipedia

Leave a Reply

Top