Mengenal Metode Eklektik (Campuran) Artikel by Ellen Kristi - 4 November 20205 November 20200 Post Views: 164 Tidak semua keluarga homeschooler memproklamirkan diri sebagai unschooler, atau praktisi Montessori, atau Charlotte Mason, atau Waldorf, atau kurikulum tertentu. Ada juga yang memilih rileks soal ide dan praktik pendidikan mereka, memadupadankan mana saja yang dianggap nyaman. Mereka biasanya disebut praktisi metode eklektik atau campuran. Sesuai namanya, metode ini tidak menekankan pada “kemurnian” pemikiran. Yang jadi prioritas bagi para praktisi metode eklektik ini adalah kenyamanan dan manfaat dari suatu ide atau praktik pendidikan. Asalkan dirasa berguna, ide dan praktik dari metode lain mana saja bisa diadopsi dan dikombinasi dalam keseharian keluarga praktisi. Ada berbagai latar belakang yang menyebabkan keluarga homeschooler akhirnya memutuskan untuk tidak “saklek” mengikuti metode yang digariskan tokoh tertentu. Seperti apa pertimbangannya? Apa dampaknya ke praktik? Apa plus minusnya? *** Secara umum, ada dua kategori keluarga homeschooler yang mempraktikkan metode eklektik. Kategori pertama, mereka yang menjadi eklektik karena memang secara konseptual memilih begitu. Kategori kedua, mereka yang menjadi eklektik karena belum paham macam-macam metode, jadi belum memilih. Yang akan kita bahas di sini terutama adalah praktisi eklektik kategori pertama. Mereka umumnya malah sudah mempelajari dan mencoba bermacam-macam metode, tapi kemudian merasa tidak ada yang betul-betul cocok dengan kebutuhan mereka. Misalnya, istri tertarik pada suatu metode tetapi suami tidak sepakat, sehingga akhirnya proses pembelajaran dirancang secara kompromis. Atau, orangtua tertarik pada suatu metode, tetapi kesibukannya membuat dia tidak bisa menjalankan metode itu sepenuhnya. Sebagian keluarga juga memilih jadi praktisi metode eklektik karena jadwal kesehariannya relatif tidak terprediksi, sehingga sulit kalau mau teratur mempraktikkan metode tertentu secara murni. Ada kalanya aspek kepribadian orangtua juga berpengaruh. Menjadi praktisi eklektik dirasa cocok buat orangtua dengan tipe tidak suka terikat pada panduan ketat, yang tipenya cenderung bisa jalan sendiri (solitary), tidak terikat pada kelompok mana pun. *** Dengan berbagai pertimbangan kongkrit itulah, akhirnya, para orangtua homeschooler eklektik ini tidak lagi memusingkan soal tepat tidaknya praktik mereka secara konseptual, tapi memprioritaskan manfaat dan kemudahan. Nilai lebih dari metode eklektik adalah keluarga betul-betul bisa meramu sendiri kurikulum dan cara belajar tanpa harus pusing memikirkan ketepatannya secara konseptual. Ia bisa mencomot aspek kurikulum metode A, menggabungkan dengan metode B, memotong kompas bagian-bagian yang dirasa menghambat. Yang bisa diramu ke dalam metode ini bukan pemikiran para tokoh, tapi juga keyakinan-keyakinan personal orangtua sendiri. Salah satu praktisi memadukan antara metode Charlotte Mason dengan filosofi Konfusius, yaitu Dizigui, sembari memakai layanan pembelajaran matematika daring. Kata kunci dalam metode eklektif adalah bermanfaat dan memudahkan. Ide dan praktik pendidikan apa pun yang dirasa bermanfaat bagi keluarga dan mudah dipraktikkan, itulah yang dipilih oleh praktisi metode eklektik. Ide dan praktik yang menyulitkan diabaikan, dihilangkan, atau dihindari. Pendekatan ini dimungkinkan karena dalam pemikiran praktisi eklektik, target pembelajaran itu bukan bersifat abstrak – misalnya “berkarakter luhur” atau “menjadi pembawa damai” – melainkan bersifat praktis – misalnya “ada laporan progress kemajuan anak yang tercatat dan terukur” atau “dalam tiga bulan anak sudah bisa mencapai target X”. *** Boleh dibilang, praktisi metode eklektik pendekatannya bersifat pragmatis. Seorang pragmatis menilai baik buruknya suatu ide atau praktik bukan berdasar substansi konsepnya, tapi berdasar manfaat kongkritnya dalam konteks riil kehidupan mereka. Itu sebabnya praktisi eklektik tidak merasa harus saklek mengikuti metode tertentu, tapi bebas memilih dan mengambil bagian-bagian yang ia anggap paling bagus, nyaman, berguna, dan mudah untuk diterapkan dalam proses homeschooling keluarganya. Titik lemah dari metode ini, sebagaimana diakui oleh para praktisinya, adalah tidak adanya pegangan konseptual yang pasti untuk melakukan evaluasi apakah mereka sudah tepat atau belum mempraktikkan teknik belajar tertentu. Ketika teknik belajar dari metode A dicampur dengan teknik belajar dari metode B, maka orangtua harus membuat parameter sendiri kapan mereka dianggap berhasil atau gagal menerapkan kombinasi itu. Catatan: Tulisan ini disarikan dari bahan dan percakapan Ngobrol Daring PHI sesi #14 tentang Metode Eklektik. Share it: