Mengenal Metode Unschooling Artikel by Ellen Kristi - 3 November 20204 November 20200 Post Views: 215 Metode yang paling awal muncul dalam sejarah gerakan homeschooling modern adalah unschooling. Di Indonesia, istilah ini belakangan sepertinya makin populer, meski kadang pemahaman orang-orang atasnya masih kabur dan tidak berbasis kajian historis. Misalnya, ada anggapan bahwa praktisi unschooling pasti tidak akan mencari ijazah. Atau anggapan bahwa orangtua bisa tetap menyekolahkan anak sambil unschooling di rumah. Pemahaman ini kurang tepat menjelaskan esensi dan karakteristik unschooling. Karena itu, penting orangtua belajar sendiri sejarah dari istilah tertentu, dan tidak sekadar mengikuti wacana yang beredar. Mengecek riwayat kemunculan suatu ide akan membuat kita bisa lebih pas memahami dan menjelaskan ide tersebut. *** Unschooling berasal dari kata un dan schooling. Dalam bahasa Inggris, awalan un- mengandung arti “bertentangan” atau “kontra”. Misalnya, undo (membatalkan tindakan) adalah kebalikan dari do (melakukan tindakan), dan undress (melepas baju) adalah kebalikan dari dress (memakai baju). Demikian pula unschooling secara harafiah punya makna kebalikan atau kontra dengan persekolahan. Bukan hanya berkebalikan dari sekolah, UN-schooling juga secara harafiah berarti mengembalikan ke situasi seperti saat belum ada sekolah. Pencetus unschooling adalah pelopor gerakan homeschooling di Amerika. Namanya John Holt (1923-1985). Yang ingin ia tolak dan lawan dari nilai dan praktik persekolahan adalah proses belajar yang disetir oleh sistem, alih-alih oleh anak sebagai si pemelajar. Menurut Holt, anak secara alamiah adalah pemelajar. Ia tahu cara terbaik untuk belajar tentang hal-hal yang paling ia butuhkan. Jadi, Holt bersikap bahwa proses belajar anak tidak perlu disetir oleh orang dewasa. Biarkan anak yang jadi pemimpin proses belajarnya sendiri. *** Yang jadi model belajar ideal acuan orangtua unschooler adalah model belajar saat anak masih bebas dari segala macam kewajiban persekolahan. Anak merdeka untuk menentukan mau belajar apa saja dengan cara suka-suka dia sejauh dia rasa efektif. Semua pembelajarannya bersifat nyata dan relevan. Misalnya, seorang anak berumur 5 tahun. Dia biasa menerima paket dari kurir yang ditujukan pada ayahnya. Lama-lama dia tahu bahwa rangkaian huruf di paket itu adalah nama ayahnya dan alamat rumahnya – akhirnya dia bisa baca sendiri dan tahu konteks bacaannya. Cara belajar merdeka yang bermakna inilah yang orangtua unschooler ingin terus pertahankan ada dalam diri anak sesudah ia memasuki periode usia sekolahnya. Dan ini bukan proses yang mudah, karena begitu orangtua mulai mengarah-arahkan anak berdasar agenda mereka sendiri, kapasitas belajar mandiri anak itu bakal terkikis dan terdistraksi. “Alarm” kebutuhan belajarnya akan terganggu. Itu sebabnya, dalam konsep unschooling, orangtua justru harus berusaha untuk tidak mengajar. Biarkan anak menjadi penentu sendiri dia mau belajar apa, kapan, di mana, berapa lama, dengan siapa. Orangtua unschooler tidak perlu merancangkan kurikulum, karena anak bisa menyusun sendiri kurikulum belajarnya. Orangtua sama sekali tidak perlu memerintahkan anak belajar apa pun. Dan anak tidak perlu dites-tes juga untuk hasil belajarnya. Ia yang belajar, dan ia yang paling tahu apa capaian yang ingin ia raih dalam proses belajarnya. Tugas orangtua adalah mendukung penuh agenda belajar yang anak pilih. *** Sampai di sini, orang yang dibesarkan dalam tradisi sekolahan mungkin syok. Kalau tidak ada kurikulum, tidak ada jadwal belajar, tidak ada tes, bagaimana kamu bisa memastikan bahwa anak betul-betul belajar dan mengalami kemajuan dalam belajar? Orangtua unschooler akan menjawab bahwa itu bahkan tidak perlu dikhawatirkan, karena mereka percaya betul bahwa anak mampu belajar mandiri (learning on their own). Setiap detik dalam hidupnya, anak sedang belajar, dengan cara yang tidak selalu sama dengan yang orangtua pikirkan. Orangtua unschooler woles saja kalaupun anaknya belum mau baca tulis hitung di usia sekolah – seperti yang dituntut masyarakat sekitar. Mereka rileks karena mereka percaya, nanti kalau anak sudah butuh baca tulis hitung, dia pasti akan belajar dengan caranya sendiri. Yang penting mereka terus memantau dan peka pada isyarat-isyarat ketertarikan anak, lalu bersiaga mendukung dan mendampingi prosesnya kapan pun ketertarikan itu muncul. *** Bukan berarti orangtua unschooler hanya pasif dan tidak melakukan stimulasi apa pun untuk anak. Jangan pula dianggap orangtua unschooler tidak mendisiplin anaknya. Hanya saja, metode disiplinnya adalah lewat menumbuhkan motivasi dan kesadaran dari dalam diri anak. Unschooling itu bukan unparenting, sebaliknya justru active parenting. Orangtua unschooler sangat rajin mengajak anak berkomunikasi dan berdialog. Perbincangan intim ini akan menjadi bahan anak menimbang apa yang harusnya ia lakukan. Jadi, ketika anak melakukan sesuatu yang benar, itu betul-betul hasil putusannya sendiri secara sadar. Orangtua unschooler bersikap rileks soal target-target akademis, tapi mereka tetap memberikan stimulasi dan pancingan. Kalau ayah ibu unschooler ingin anaknya suka membaca, mereka bisa menunjukkan teladan ke anak bahwa mereka juga suka membaca, bercerita soal asyiknya membaca. Yang menyalahi prinsip unschooling adalah kalau ayah-ibu sudah mulai mewajibkan, mengharuskan, memaksakan agenda akademis mereka sendiri, meski anak tidak setuju atau sebetulnya belum merasa perlu. *** Yang akan cocok menerapkan unschooling adalah orangtua yang betul-betul mengimani 100% bahwa secara alamiah anak pasti suka belajar. Orangtua unschooler berketetapan bahwa belajar adalah agenda si anak, bukan agendanya. Mereka merasa tidak punya agenda pribadi tentang proses belajar anaknya selain menemani, mendampingi, dan menghantarkan anaknya untuk menemukan panggilan hidupnya dan menjalani pilihan hidup pribadinya. Dalam praktik, unschooling relatif mudah dikerjakan saat anak masih usia prasekolah. Kadar unschooling orangtua baru akan diuji benar-benar pada saat anak sudah masuk usia sekolah, ketika tuntutan sekitar soal kemajuan akademis anak menguat. Orangtua unschooler butuh mental baja untuk menghadapi komentar negatif orang sekitar. Catatan: Tulisan ini disarikan dari bahan dan percakapan Ngobrol Daring PHI sesi #10 tentang Unschooling. Sumber foto: johnholtgws.com Share it: