Anda di sini
Beranda > Artikel > Homeschooling, Bagaimana Harus Memulainya?

Homeschooling, Bagaimana Harus Memulainya?

Ayah-ibu pemula homeschooling rata-rata punya satu pertanyaan yang sama: bagaimana harus memulainya? Mungkin anda termasuk yang begitu.

Apakah anda sudah punya kemauan besar untuk jadi homeschooler, tapi masih bingung langkah apa yang harus dilakukan duluan?

Apakah anda sudah menghadiri aneka acara sosialisasi homeschooling, entah luring (offline) maupun daring (online), untuk mencari jawaban pertanyan itu, tetapi tetap merasa gamang?

Apakah anda sudah membaca aneka artikel tentang homeschooling dan rasanya belum mantap?

Apakah anda sudah coba bertanya pada keluarga-keluarga praktisi tentang proses mereka dulu memulai homeschooling, tapi belum juga terbayang jelas cara menjalankan homeschooling buat anak-anak anda?

Artikel ini ditulis untuk membantu teman-teman punya gambaran sedikit soal cara memulai homeschooling. Semoga bisa memunculkansedikit titik terang. Semoga.

***

Yang pertama anda perlu terima adalah: kebingungan anda itu wajar. Merasa tak tahu arah ketika mau berpindah dari sekolah formal ke homeschooling – itu sama sekali tidak aneh! Kami yang sekarang terlihat seperti homeschooler “senior” pun dulu mengalaminya.

Telah ditulis di artikel terdahulu (soal bedanya homeschooling dan school from home), menjadi homeschooler itu ibarat karyawan yang hendak mulai berbisnis sendiri. Anda mau pindah dari dunia yang serba dikendali dan ditatakan, menuju dunia yang serba merdeka dan fleksibel.

Dengan menjadi homeschooler, anda dan anak-anak menjadi tuan atas proses pendidikan kalian sendiri. Kalian bebas menyusun kurikulum. Kalian bebas mengatur jam belajar yang cocok. Kalian bebas memilih materi pelajaran yang tepat. Kalian bebas merekrut guru atau tidak merekrut guru. Kalian bebas.

Persoalannya: siapa bilang menjadi bebas itu gampang?

Konsekuensi dari kebebasan adalah harus berani membuat keputusan-keputusan mandiri. Makanya, buat orang yang seumur hidupnya selalu diatur-atur orang lain, kebebasan malah bisa bikin bingung. “Dari titik ini, aku harus ke mana?”

Jadi, super wajar sekali kalau ada orangtua yang bingung cara menjadi homeschooler, karena dari dulu terbiasa memasrahkan pengaturan proses pendidikan pada lembaga. Terima saja realitas bahwa status anda sekarang adalah pemula.

Sungguh tidak realistis kalau seorang pendatang baru menuntut wawasan atau keterampilannya setara dengan pelaku lama, bukan? Berharap semua langkah anda sebagai newbie langsung tepat, mantap, dan pasti sejak semula adalah tuntutan yang ketinggian buat diri sendiri.

***

Oh ya, meskipun rasanya tidak enak, bingung itu sebetulnya pertanda baik. Bingung adalah suatu isyarat bahwa akalbudi anda sedang terpantik untuk berpikir. Bingung adalah gejala umum yang dialami seseorang saat ia keluar dari zona nyaman.

Zona nyaman, sesuai namanya, memang nyaman. Ada pijakan pasti. Temannya banyak. Risiko relatif terprediksi, tidak mendebarkan lagi. Namun problemnya, terus-menerus tinggal di zona nyaman bisa membuat kita stagnan. Kalau semuanya selalu serba rutin, kita berhenti belajar, kita berhenti bertumbuh.

Mempelajari hal yang sama sekali baru akan melucuti kita dari segala rasa aman dan percaya diri. Kita mulai dari nol dan merasa jadi bodoh lagi. Berada di zona belajar rasanya mungkin sangat tidak nyaman, tapi, para ahli bilang, membuka peluang maju pesat.

Mendiang Steve Jobs punya pengalaman menarik soal ini. Pada usia 30 tahun, ia dipecat dari Apple, perusahaan yang ia dirikan sendiri, saat Apple sedang jaya-jayanya. Ia linglung selama berbulan-bulan, tak tahu harus berbuat apa.

Namun setelah berefleksi, Jobs memutuskan untuk “memulai dari nol lagi”. Begitu mengubah cara pikir, ia bisa melihat bahwa status newbie ini justru melegakan. Sebagai pemula, ia tidak lagi harus selalu benar dan sempurna. Pemula dimaklumi kalau masih mencoba-coba, dan sangat boleh keliru.

Begitulah, dalam kondisi serba kurang pasti tentang segala sesuatu, Jobs justru memasuki salah satu periode paling kreatif dalam hidupnya. Ia lantas mendirikan Pixar, perusahaan animasi yang fenomenal. Karena mendirikan Pixar, ia bertemu jodoh yang setia mendampinginya sampai ia mati. “Dipecat dari Apple adalah peristiwa terbaik dalam hidup saya,” refleksinya sebelum meninggal.

Apakah pengalaman batin anda meninggalkan zona nyaman persekolahan mirip seperti Jobs saat meninggalkan Apple? Nah, berarti mungkin juga, kelak kegalauan anda akan berubah jadi syukur. Ada peluang homeschooling membuat anda mengalami salah satu periode hidup paling kreatif dan bergairah bersama anak-anak. Namun, pertama-tama, ubah dulu sudut pandang anda agar bisa merayakan masa ketidakpastian ini.

***

Kini kita kembali ke pertanyaan awal. Apa yang harus anda lakukan untuk memulai proses homeschooling bersama anak-anak?

Jika kita sudah menangkap esensi dari homeschooling, kita akan sadar bahwa pertanyaan ini sebetulnya bermasalah. Ingatlah selalu, sebagai homeschooler, kita bebas. Dalam praktik homeschooling, kita boleh memilih cara mana saja yang paling tepat untuk situasi dan kebutuhan keluarga kita. Tidak ada kata “harus”.

Jadi, kalau muncul pertanyaan: “apa yang harus saya lakukan untuk memulai proses homeschooling?” dalam benak anda, alih-alih panik mencari jawaban, duduklah dulu dan pertanyakan pertanyaan itu.

Mengapa anda berpikir bahwa ada cara tertentu yang “harus” dilakukan untuk memulai homeschooling? Jangan-jangan itu pertanda anda masih terbelenggu oleh paradigma ala sekolahan, yang terlalu banyak harus ini harus itu, jangan ini jangan itu?

Bertanya seperti itu, jangan-jangan anda masih dikuasai oleh mentalitas serba menunggu diberi petunjuk? Atau pertanyaan itu dimotivasi oleh rasa takut salah – karena memang selama ini sistem pendidikan mendidik kita untuk sangat takut salah?

***

Kepada siapa pun pemula homeschooling yang didera oleh rasa takut salah, saya ingin sadurkan di sini kisah seorang profesor fotografi di Universitas Florida bernama Jerry Uelsmann (sumbernya: buku Atomic Habits karya James Clear).

Suatu semester, Jerry membuka kuliahnya dengan membagi para mahasiswa menjadi dua kelompok. Kelompok pertama dinamai kelompok “kuantitas”. Kelompok kedua dinamai kelompok “kualitas”.

Pada kelompok pertama, Jerry bilang: “Kalian akan dinilai semata-mata dari jumlah karya yang kalian hasilkan.” Di akhir semester nanti, Jerry akan menghitung karya mereka. Mahasiswa yang menghasilkan 100 foto dapat nilai A, yang 90 foto nilai B, yang 80 foto nilai C, dst.

Pada kelompok kedua, Jerry bilang: “Kalian akan dinilai semata-mata dari bagusnya karya yang kalian hasilkan.” Mahasiswa di kelompok kualitas ini cukup menyerahkan satu foto di akhir semester, tapi untuk mendapatkan nilai A, imaji foto itu haruslah mendekati keindahan sempurna.

Di akhir semester, Jerry kaget mendapati karya-karya foto terbaik di kelasnya berasal kelompok “kuantitas”, bukan kelompok “kualitas”. Kok bisa?

Sepanjang semester, para mahasiswa di kelompok kuantitas terus memotret. Lewat ratusan trial and error, mereka jadi paham soal komposisi, pencahayaan, metode pengolahan film di kamar gelap, dsb. Keterampilan mereka lambat laun meningkat, hasil jepretan kamera mereka makin bagus.

Pada saat yang sama, para mahasiswa di kelompok kualitas lebih banyak disibukkan berpikir dan berdebat tentang bagaimana menghasilkan imaji potret yang sempurna. Di akhir semester, mereka punya banyak teori – yang belum terbukti – dan hanya beberapa lembar foto dengan mutu rata-rata.

Pesan moralnya: mudah sekali kita terperangkap oleh kegalauan merumuskan rencana paling optimal untuk mencapai hasil; kita terlalu sibuk menimbang mana pendekatan yang terbaik, hingga akhirnya tidak pernah beraksi – dan tidak pernah sampai ke mana-mana.

***

Bertanya: “Bagaimana saya harus memulai homeschooling?” tak akan pernah memberi anda jawaban memuaskan. Soalnya, tak satu narasumber pun mampu menjawabnya. Bagaimana mereka tahu cara apa yang paling tepat untuk anda?

Jika berjumpa dengan praktisi senior, lebih baik tanyakanlah, “Bagaimana anda dulu memulai homeschooling?” – kumpulkan cerita sebanyak-banyaknya sebagai bahan rujukan. Anda akan dapati bahwa variasi cara memulai homeschooling banyak sekali:

  • Ada yang memulai dengan banyak ngobrol dengan anak.
  • Ada yang memulai dengan riset aneka filosofi dan metode pendidikan.
  • Ada yang memulai dengan mendisiplin anak melakukan tugas domestik sehari-hari (chores).
  • Ada yang memulai dengan melanjutkan materi sekolah.
  • Ada yang memulai dengan mencontek kurikulum keluarga homeschooler lain.
  • Ada yang tidak ngapa-ngapain, anak dibebaskan melakukan apa saja yang mereka suka.
  • Dlsb.

Dengarkan semuanya, tapi tak harus meniru plek siapa-siapa. Cara yang tepat buat keluarga lain belum tentu tepat buat keluarga anda. Anda menyimak untuk mencari inspirasi.

Apa pun yang anda rasa bagus buat dijalankan bersama anak-anak, dan memungkinkan untuk kalian kerjakan, jalankan saja. Metode A sepertinya keren? Kurikulum B sepertinya cocok? Teknik C sepertinya menarik? Terapkan saja. Kalaupun belakangan anda dapati itu tidak pas, anda bebas memodifikasinya, menggantinya, atau meramunya dengan metode, kurikulum, atau teknik yang lain. Tidak masalah. Bebas.

Saat ini anda berada di zona belajar. Ini zonanya bereksperimen, coba dan ralat, trial and error. Salah? Tidak masalah. Keliru? Tak perlu malu. Yang penting anda punya kerendahan hati untuk terus belajar dari semua kesalahan dan kekeliruan itu. Percayalah, dari coba ralat dan jatuh bangun, anda dan anak-anak bakal banyak belajar dan bertumbuh di jalan pendidikan berbasis keluarga.

Tekuni terus saja petualangan belajar ini, maka beberapa tahun dari sekarang, kalian akan meninggalkan status homeschooler pemula. Kalian akan menjelma jadi homeschooler berpengalaman yang bisa tersenyum penuh arti kalau ada yang bertanya: “Apa yang harus saya lakukan untuk memulai homeschooling?”.

Leave a Reply

Top