Ide-ide Penting dalam Sejarah Homeschooling Artikel by Ellen Kristi - 31 May 202012 June 20201 Post Views: 179 Sama seperti segala hal yang ada di bawah kolong langit, homeschooling juga ada sejarahnya. Kayaknya klise banget ya kalau dibilang bahwa belajar sejarah itu penting. Tapi ternyata memang beneran penting lho! Dengan belajar sejarah, kita bakal lebih paham ide-ide utama yang terkandung dalam konsep homeschooling. Kalau sudah paham, nggak bakalan lagi deh kita terkecoh oleh lembaga-lembaga yang pakai label homeschooling lalu menarik biaya mahal. Dengan belajar sejarah juga, ketika sedang menimbang homeschooling, kita tidak akan terpaku pada urusan kurikulum dan teknis, tetapi refleksi dulu tentang perlu tidaknya homeschooling itu buat anak. Setujukah kita dengan ide-ide yang melatari model pendidikan ini? Jadi, hari ini, ayo kita mundur ke masa lalu, melacak awal munculnya gerakan homeschooling, para pemikir dan perintisnya serta gagasan-gagasan mereka. *** Gerakan homeschooling muncul dan menguat lewat paruh abad ke-20, mulai tahun 1960-an, sebagai respons terhadap schooling atau persekolahan. Dari perspektif sejarah, sekolah itu institusi yang umurnya masih muda dibanding pendidikan berbasis keluarga. Ya iyalah, Zaman Batu dulu mana ada sekolah! Semua anak begitu lahir tentu saja langsung diasuh oleh orangtua dan komunitasnya. Inisiatif mendirikan sekolah muncul pelan-pelan di berbagai bangsa. Namun awalnya, bersekolah itu tidak wajib. Cuma buat yang mau saja. Biasanya malah bersekolah itu privilese, khusus untuk putra-putri kaum elit. Format sekolahnya juga beda-beda, sesuai kultur masing-masing. Banyak yang konsepnya “nyantrik”. Baru pada abad ke-16, di Jerman, oleh dorongan reformator Protestan yang bernama Martin Luther, Gereja mengeluarkan kebijakan wajib sekolah bagi semua anak. Tujuannya untuk menyeragamkan sudut pandang warga negara, waktu itu khususnya sudut pandang soal agama. Dengan adanya kebijakan wajib sekolah atau compulsory education itu, orangtua yang tidak menyekolahkan anak akan dihukum, bisa didenda atau bahkan dipenjara. Sistem persekolahan pun makin ketat diklasifikasi per jenjang dan per kelas. Kebijakan compulsory education ini ditiru oleh negara-negara Eropa lainnya, sampai kemudian juga dibawa ke Amerika. Nantinya bangsa Eropa akan memperkenalkan sistem persekolahan ini ke negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia. Ketika Eropa mengalami sekularisasi dan industrialisasi di era modern, sekolah pun beradaptasi dengan corak baru. Pendidikan jadi lebih bersifat utilitarian. Sekolah menjadi mesin besar untuk mencetak tenaga kerja siap pakai. Kurikulum dan spesialisasi dikembangkan agar sesuai dengan kebutuhan industri dan pasar. Tes terstandar dengan sistem penilaian baku dan sertifikasi menjadi penting sebagai alat penjamin mutu (quality control) lulusan sekolah. Lulus tes dengan nilai tinggi artinya siswa itu hebat. *** Para pionir homeschooling adalah mereka yang gelisah melihat cara kerja sistem persekolahan modern. Konseptor besar gerakan homeschooling justru datang dari kalangan guru. Yang pertama namanya John Holt (1923-1985). Holt bukan guru ecek-ecek. Dia sangat berdedikasi dalam bekerja dan sepenuh hati ingin melihat murid-muridnya berkembang optimal. Bentuk dedikasinya antara lain dengan tekun melakukan observasi terhadap perilaku mereka. Hasil observasi Holt nantinya diterbitkan sebagai buku dengan judul How Children Fail (1964) dan How Children Learn (1967). Dari observasinya itu, Holt merasa kecewa karena dia mendapati bahwa para siswanya ternyata di sekolah tidak belajar! Eh, tapi kalau tidak belajar, ngapain mereka di sekolah seharian? Kata John Holt: mereka di sekolah bukan belajar, melainkan mengejar nilai. Bagi Holt, belajar dan mengejar nilai itu adalah dua aktivitas yang jauh berbeda. Anak bisa dapat nilai tinggi meski tidak belajar. Dan di sekolah, para siswa mengembangkan 1001 siasat supaya bisa dapat nilai tinggi tanpa harus belajar. Holt merasa sangat kecewa karenanya. Dia yakin sebetulnya anak itu terlahir sebagai pemelajar. Sejak bayi, semua anak suka belajar. Namun, alih-alih merawat semangat belajar alami itu, sekolah malah melumpuhkan, bahkan mematikannya. Anak-anak tidak lagi belajar karena senang belajar. Mereka hanya mau “belajar” kalau diancam nilai jelek atau diimingi-imingi nilai bagus. Belum lagi lingkungan sekolah juga membuat anak rentan dirundung (bullying). Anak yang banyak gerak dibilang nakal. Anak yang belum paham dibilang bodoh. Label ini diserap oleh anak. Anak jadi percaya bahwa dia betul-betul nakal, bodoh, dan predikat negatif lainnya. Holt sempat berusaha mereformasi sekolahnya, tapi gagal. Akhirnya dengan kecewa, dia memilih berhenti dari posisi guru, dan menjadi advokat gerakan homeschooling. Dia bilang, “Bersekolah itu hak anak, tapi kalau bersekolah malah menyakiti entah tubuh atau jiwa anak, tidak bersekolah itu juga hak anak!” *** Konseptor penting gerakan homeschooling berikutnya adalah guru reformis bernama Raymond Moore (1916-2007). Berbeda dengan Holt yang liberal, Moore sosok religius. Dia melihat pentingnya peran orangtua sebagai pihak yang diberi otoritas oleh Tuhan sebagai pendidik pertama dan utama. Karena itulah Moore sedih melihat tren anak dikirim ke sekolah pada usia yang makin lama makin muda. Itu berarti mereka makin cepat dipisahkan dari orangtua, yang seharusnya jadi role model utama mereka di tahun-tahun pertama kehidupan. Dari risetnya, Moore juga mendapati, keyakinan bahwa anak harus disosialisasikan dengan teman-teman seumuran itu adalah mitos. Justru Moore melihat bahwa bergaul terlalu intens dengan teman sebaya itu bisa merusak anak, karena adanya peer pressure. Moore juga melihat bahwa pendidikan di sekolah itu terlalu berat di aspek akademis. Padahal, menurutnya, hidup anak itu harusnya seimbang antara belajar akademis, bekerja, dan berkontribusi buat masyarakat. Karena itu, Moore menolak tren jam belajar di sekolah yang makin panjang, PR yang begitu banyak, sampai anak tidak sempat dilatih untuk kerja riil sehari-hari dan mengabdi pada masyarakat. Sama seperti Holt, Moore sempat berusaha mereformasi sistem sekolah, tetapi frustrasi karena tak kunjung berhasil, dan akhirnya memilih jadi advokat gerakan homeschooling. *** Nantinya akan muncul beberapa tokoh lagi dalam gerakan homeschooling, tapi ide-ide pokoknya tetap berkisar di pemikiran Holt dan Moore, yakni: Bahwa anak punya kodrat alami sebagai pemelajarBahwa anak harus diberi otonomi untuk menentukan agenda belajarnya sendiriBahwa sistem nilai, ranking, dan iming-iming (extrinsic rewards) hanya akan melumpuhkan rasa cinta belajar anakBahwa tujuan pendidikan itu harusnya holistik dan humanis, bukan menjadikan anak sebagai objek, komoditas, atau instrumen untuk kepentingan politik-ekonomi penguasaBahwa otoritas untuk menentukan arah pendidikan anak terutama ada di tangan orangtua, bukan lembaga sekolahBahwa belajar dan pendidikan itu tidak identik dengan persekolahanBahwa bersekolah itu hak, bukan kewajibanBahwa jika sistem persekolahan utilitarian dan menindas, demi kepentingan terbaik anak, sebaiknya anak tidak usah sekolahBahwa jika orangtua berkomitmen mendampingi, anak bisa bertumbuh kembang dengan baik tanpa harus bersekolah *** Sejarah homeschooling selanjutnya berisi kisah-kisah perjuangan para orangtua yang meyakini ide-ide tersebut. Demi melawan kebijakan “wajib sekolah”, para pionir homeschooling berani berkorban banyak hal. Mereka sampai rela ditangkap polisi dan masuk penjara demi mempertahankan hak mendidik sendiri anak-anak, tanpa tergantung pada lembaga sekolah. Agar hak keluarga menjalankan homeschooling dilegalkan, para homeschooler lantas mengorganisir diri dan melakukan advokasi kebijakan. Terjadi perdebatan sengit dengan pihak yang anti-homeschooling (tidak setuju kalau orangtua tidak mengirim anak ke sekolah). Di Amerika, butuh waktu lumayan panjang dan kegigihan berjuang sebelum akhirnya homeschooling dianggap legal. Kebijakan melegalkan homeschooling ini lalu meluas ke seantero dunia. Meski di beberapa negara masih dianggap ilegal, homeschooling kini mulai jadi pilihan pendidikan mainstream buat jutaan anak. “Gelombang pasang homeschooling adalah salah satu tren sosial paling signifikan di paruh akhir abad ini.” Begitu kata Patricia M Lines, editor jurnal Humanitas dan pengajar di Harvard University. *** Sampai di sini, semoga teman-teman makin paham tentang konsep dan semangat dasar homeschooling. Belajar itu penting, pendidikan terbaik untuk anak itu harus, tapi bersekolah? Tidak wajib. Dari sejarah itu terlihat juga bahwa memutuskan untuk homeschooling di tengah masyarakat yang dibelenggu paradigma sekolahan berarti memilih jadi kaum minoritas. Tentangan, cibiran, bahkan diskriminasi bukan hal yang aneh bagi homeschooler. Tapi mengapa kita maju terus sekalipun mengalami banyak kesulitan? Untuk apa kita meninggalkan kenyamanan sistem sekolah yang mapan, dan “cari penyakit” bersusah-susah di jalur homeschooling? Karena hati kita tertambat pada ide-ide penting yang melandasinya. Kita bersyukur hukum di Indonesia cukup progresif dan melegalkan homeschooling, tapi itu bukan berarti homeschooler tinggal leha-leha. Kita pun perlu gigih berjuang, melakukan advokasi, supaya kebijakan dan praktik yang masih diskriminatif pada anak homeschooler bisa dihapuskan. *** Untuk tujuan advokasi pulalah PHI berdiri. Visi keluarga-keluarga homeschooler yang bergabung di PHI adalah agar semua anak Indonesia, termasuk anak homeschooler, dilindungi haknya untuk belajar secara merdeka, setara, dan berkualitas. Masih banyak PR kita agar visi itu tercapai. Sampai di sini, semoga teman-teman juga lebih mafhum mengapa secara prinsipiil PHI menolak pemakaian istilah homeschooling untuk nama lembaga. Itu adalah praktik yang ahistoris dan merugikan kepentingan homeschooler. Yang kami mau adalah orangtua makin berdaya dan anak makin merdeka dalam menentukan pilihan pendidikan mereka, bukannya malah dikondisikan kembali tergantung pada lembaga. Yang kami mau adalah publik makin terbuka matanya dan mendukung pilihan pendidikan berbasis keluarga, bukannya bingung arti homeschooling yang sebenarnya. === Sumber bacaan: Lines, Patricia M. 2000. “Homeschooling Comes of Age”. The Public Interest, 140, hlm. 74-85. Murphy, Joseph. 2012. Homeschooling in America: Capturing and Assessing the Movement. New York: Corwin Press. Rothbard, Murray N. 1999. Education: Free and Compulsory. Alabama: Ludwig von Mises Institute. Stevens, Mitchell. 2001. Kingdom of Children: Culture and Controversy in the Homeschooling Movement. New Jersey: Princeton University Press. === Foto: history.com Share it:310 310Shares 310Shares310
Setuju banget bahwa hakmemilih tidak bersekolah (homeschooling) sama dengan hak memilih bersekolah. Semangat PHI Reply