Homeschooling dan School-from-Home, Sama atau Beda? Artikel by Ellen Kristi - 26 May 202012 June 20204 Post Views: 223 Gara-gara pandemi COVID-19, sekolah merumahkan para siswanya. Anak-anak disuruh belajar dari rumah, school from home. Orangtua diminta mengawasi proses belajar anak-anak itu. Pertanyaannya, apakah school from home ini sama atau beda dengan homeschooling? Sekilas memang mirip. Sama-sama anak tidak ke sekolah. Sama-sama proses belajarnya diatur atau diawasi orangtua. Tapi sebetulnya school from home dan homeschooling jauh berbeda. Perbedaannya ada di satu kata: “kendali”. *** Saat school from home, kendali proses belajar ada di tangan siapa? Jawabannya: tetap di tangan sekolah. Praktik umum school from home: guru sekolah akan menyiapkan materi belajar dan tugas-tugas, kemudian mengirimkannya ke orangtua atau siswa untuk dikerjakan; nanti setelah selesai dikerjakan, orangtua atau siswa akan melaporkan hasilnya balik ke guru. Apakah menurut orangtua pelajaran yang diberikan guru itu semuanya penting? Apakah tugas yang disuruhkan guru itu semuanya dibutuhkan oleh anak? Belum tentu. Kondisi tidak memegang kendali ini biasanya bakal terlihat dari respons orangtua dan siswa school from home ketika tantangan mulai muncul. Orangtua akan mulai ngomel: merasa direpotkan, merasa kewalahan menjalankan program belajar yang disiapkan guru, tapi kalau tidak dijalankan takut anak ketinggalan pelajaran, merasa sekolah kok enak-enakan sudah dibayar tapi yang kerja orangtua, atau sebaliknya, merasa anak jadi terlalu santai, main terus, atau tidak ada insiatif apa-apa kalau tidak disuruh, dst. Anak akan mulai mengeluh: guru memberi tugas terlalu banyak, deadline tugas terlalu mepet, walaupun sekolah tutup tapi mereka sibuknya mengerjakan PR tidak kalah waktu sekolah masih buka, atau sebaliknya tugas dari sekolah terlalu sedikit, waktu sudah selesai semua lalu mereka malah bingung mau ngapain lagi, merasa bosan, dst. *** Saat homeschooling, kendali proses belajar ada di tangan siapa? Jawabannya: di tangan keluarga. Praktik umum homeschooling: orangtua bersama anak memikirkan prioritas belajar keluarga mereka, lalu menyusun kurikulum dan jadwal kegiatan belajar harian, hasil belajarnya disimpan sebagai portofolio anak untuk sewaktu-waktu “dipamerkan” kalau perlu. Tidak ada istilahnya homeschooler belajar karena “disuruh” oleh sekolah. Mau belajar apa, mau belajar kapan, mau belajar di mana, mau belajar dari siapa atau dengan siapa, semua diputuskan sendiri oleh anak dan orangtua homeschooler. Buat apa anak belajar hal-hal yang tidak penting buatnya? Buat apa anak mengerjakan tugas-tugas yang tidak relevan dengan kebutuhannya? Belajar itu ya yang penting-penting dan yang dibutuhkan saja. Yang tidak penting, yang tidak relevan, buang ke laut. Kondisi memegang kendali ini biasanya bakal terlihat dari respons orangtua dan siswa homeschooler ketika tantangan mulai muncul. Repot menyeimbangkan kegiatan belajar anak, pekerjaan sendiri, sambil beberes urusan rumah? Ya wajar saja, ini kan pilihan kami sendiri. Mau-maunya kami sendiri. Ketika memutuskan homeschooling, memang sudah siap mental untuk berepot-repot. Orangtua homeschooler tidak punya pihak ketiga untuk diomeli. Tidak ada guru yang menyuruh-nyuruh, tapi juga tidak ada guru yang bisa disalah-salahkan. Kalau proses belajar tidak berjalan lancar, orangtua homeschooler akan duduk dan merenung: tidak pasnya di mana ya? Atau japrian atau ngobrol bareng kawan-kawan sesama homeschooler, minta masukan yang harus diperbaiki proses sebelah mananya. Karena kendali ada di tangan sendiri, soal cepat lambat belajar atau banyak sedikit materi itu bisa diatur, bisa diubah-ubah kapan saja sesuai kebutuhan orangtua dan anak. Ternyata target pelajarannya ketinggian? Ya kurangi saja ekspektasinya. Ternyata tugasnya kebanyakan? Ya dibuat lebih sedikit. Anak mengeluh sulit menangkap materi? Ya pelan-pelan saja, yang penting akhirnya dia paham. Orangtua sedang sibuk banget? Libur dulu saja sesi akademisnya, nanti kalau situasi sudah lebih longgar, materinya bisa dikejar kok. Justru dengan menyesuaikan di sana-sini itu keluarga homeschooler makin bagus team work-nya, makin paham irama dan gaya belajar yang cocok buat mereka. Orangtua homeschooler makin kenal kekuatan dan kelebihan juga minat-bakat masing-masing anak. Anak makin kenal diri sendiri. Bonding orangtua dan anak tambah kuat. *** Tantangan bergeser dari school from home ke homeschooling ini rada mirip dengan orang yang biasanya jadi karyawan lalu ingin jadi wiraswasta. Sama-sama kerja, tapi kendali ada di tangan yang berbeda. Jadi karyawan, sistem kerja sudah disiapkan perusahaan, job description sudah disiapkan, target sudah dipatok. Orang tinggal ikut saja. Bisa kasih masukan sedikit di sana-sini, tapi sulit kalau mau mengubah keseluruhan sistem itu. Sebaliknya, jadi wiraswastawan, orang bebas bikin target sendiri, susun strategi sendiri. Tapi tanggung jawabnya juga dipikul sendiri. Kerja wiraswasta banyak enaknya. Tapi kalau ada kerugian ya harus berani menanggung juga – sudah tidak ada siapa-siapa lagi yang akan disalahkan. Nyaman mana jadi karyawan atau wiraswastawan, tergantung mindset alias cara pikir. Buat yang sudah biasa wiraswasta, kerja jadi karyawan itu tidak nyaman blas. Tidak merdeka. Di sisi lain, kalau sudah biasa jadi karyawan, disuruh mulai usaha sendiri juga tidak nyaman. Butuh adaptasi mental-emosional dulu. *** Jadi, buat kawan-kawan yang sedang menimbang mau transisi dari school from home ke homeschooling, tolong pikir lagi baik-baik ya. Harap dilepas itu anggapan bahwa homeschooling hanya soal memindahkan kegiatan belajar sekolah ke rumah. Jangan lagi mengira homeschooling itu prosesnya ya seperti sekolah, hanya lokasinya dipindah ke rumah. Intinya, praktik boleh mirip, tapi homeschooling dan school from home itu berangkat dari cara pikir alias mindset yang sangat berbeda. Untuk jadi homeschooler, belajarlah jadi pemegang kendali, bukan lagi cuma penerima instruksi. Keluarga homeschooler adalah keluarga pembelajar mandiri, berani berpikir sendiri. Kalau sebetulnya kawan-kawan harapannya masih ada lembaga yang bisa dipasrahi melayani, mengurusi, mengaturkan proses pembelajaran anak-anak, mending bertahan dulu saja dengan school from home sampai sekolah dibuka kembali. === Foto: CNN/The Auyeung Family Share it:966 966Shares 966Shares966
Suka banget bagian “yang gak penting, yg gak relevan, buang ke laut”. Ini salah satu dasar knp pengen homeschooling 😀 Reply
Ijin share.. mempertemukan pemikiran ini ke pasangan hidup yg belum. Anak kami yg saat ini kelas 4 SD sudah empat kali pindah sekolah. Hanya sekolah pertama yg kami, anak&ibu, sreg. Meskipun anak Saya terlambat menyadari. Saat itu yg diharapkan setiap hari bisa bersama bapaknya. 😌 It’s okay, berprosesnya mungkin musti begini dulu.. Semoga dengan membaca ini, suami bisa memahami. Reply