Homeschooling: Bisnis atau Cinta? Artikel by admin - 11 September 20171 February 20200 Post Views: 181 Oleh: Ayu Primadini Di Indonesia, istilah homeschooling bukan hal baru, tapi masih sering tak dimengerti maknanya. Masyarakat sudah banyak membincangkan homeschooling, media massa sudah marak mengulasnya, tapi masih terjebak dalam definisi yang yang berbeda dari makna aslinya – dengan kata lain: keliru. Mari kita uji. Saat mendengar kata homeschooling, apa yang ada dalam pikiran Anda? Pertanyaan yang umum diajukan pada para praktisi homeschooling adalah: Anak belajar di rumah saja? Guru datang ke rumah untuk mengajari anak? Apa anakmu artis atau atlet yang sibuk sehingga tidak sempat sekolah formal? Bagaimana anakmu bersosialisasi? Respons di atas umum melekat dalam benak kebanyakan orang. Opini demikian biasanya terbentuk dari kata lingkungan dan informasi media. Kenapa bisa begitu? Jika kita lihat saat berjalan-jalan, banyak ditemukan papan nama ‘Homeschooling’ di berbagai bangunan. Coba masuk ke tempat-tempat demikian, tanya lebih lanjut tentang apa itu homeschooling menurut mereka. Umumnya Anda akan ditawari metode belajar-mengajar bersama tutor dengan harga yang rasanya tak beda dengan sekolah swasta. Lembaga-lembaga berlabel homeschooling ini juga gencar beriklan di dunia maya dan media sosial. Memang tak bisa dipungkiri, saat ini banyak anak yang jenuh atau bermasalah dengan sistem sekolah. Mereka membutuhkan alternatif cara belajar yang berbeda, yang lebih fleksibel dan lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Keluarga dari anak-anak seperti ini jelas pasar yang potensial untuk digarap. Peluang inilah yang ditangkap para pebisnis. Sah-sah saja sebenarnya. Toh berbisnis adalah hak setiap orang. Namun yang disayangkan adalah: haruskah menggunakan nama homeschooling? Tahukah mereka sejarah dan hakikat dari istilah homeschooling? Tidakkah mereka sadar pembisnisan istilah homeschooling itu membuat rancu masyarakat yang masih awam? Media pun berpengaruh dalam pembentukan opini masyarakat. Ketika berita dan artikel awak media mengulas mengenai homeschooling dari sudut pandang pelaku “bisnis homeschooling”, mengangkat cerita-cerita tentang “siswa homeschooling” dari lembaga-lembaga tersebut, tak heran jika akhirnya masyarakat tahunya ya homeschooling sama dengan sekolah yang dipindah ke rumah, hanya ini gurunya yang datang ke rumah. Jika kita runut dari akar katanya saja, homeschooling punya arti yang jauh lebih mendalam dibanding sekadar memindahkan sekolah ke rumah. Dalam bahasa Inggris, ada perbedaan kata antara home dengan house. House diartikan sebagai bentuk fisik rumah, sedang home lebih ke fungsi rumah sebagai tempat keluarga berinteraksi, tempat karakter anak dibentuk, tempat yang nyaman dan penuh kasih sayang. Tidak ada istilah houseschooling, hanya ada homeschooling, karena yang dimaksudkan adalah pendidikan berbasis keluarga. Cinta. Ya, itulah dasar homeschooling sebagai model pendidikan berbasis keluarga. Para orangtua homeschooler sejati ingin agar cinta dan kedekatan hubungan antara anak dan orangtua menjadi dasar bagi pola pendidikan. Kuncinya bukan pada proses belajar yang dilakukan di rumah, tetapi bagaimana orangtua bertanggungjawab penuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Pada prakteknya, proses belajar Homeschooling bisa dilakukan dimana saja, bukan hanya di dalam rumah. Juga bukan berarti orangtua menjadi satu-satunya guru, karena anak bisa belajar dari siapa saja dan bahkan bisa mengajari dirinya sendiri. Apakah orangtua homeschooler itu egois hanya mau anaknya cinta kepada mereka saja? Apakah orangtua homeschooler menolak sekolah sebagai institusi pendidikan formal? Sebenarnya bukan masalah menolak atau tidak percaya. Lebih tepat dibilang, orangtua homeschooler memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab penuh pada pendidikan anak. Bukan untuk mengekang anak agar tidak kenal dunia luar, malah justru karena ingin anak lebih mengenal kehidupan nyata, belajar dan berinteraksi langsung dengan kehidupan yang sebenarnya. Cinta yang juga melandasi homeschooling adalah cinta pada pengetahuan. Orangtua homeschooler ingin anak-anak mencintai proses belajar mereka. Sebab individu yang mencintai proses belajar, selalu haus akan pengetahuan, selalu ingin meng-upgrade dirinya, akan menjadi manusia yang terus berkembang dan ini menjadi modal berharga untuk sang anak dalam menjalani kehidupan dewasanya kelak. Saya mendengar banyak cerita dari para orangtua homeschooler, masalah mereka bukan bagaimana agar anak-anak mereka mau disuruh belajar, tetapi bagaimana agar anak-anaknya mau berhenti belajar (karena waktu sudah malam atau karena alasan-alasan lain). Anak-anak homeschooler itu belajar dengan passion, berdasarkan kebutuhan mereka. Yang paling penting, naluri belajar anak tumbuh alami sesuai kemampuan dan kesiapan mereka. Belajar dengan cinta bersama keluarga, itulah dambaan dalam proses belajar ala homeschooling. Sayang sekali, makna hakiki ini tak tertangkap masyarakat karena dalam persepsi mereka ”siswa homeschooling” ya tak ada bedanya dengan anak yang sekolah, cuma ini sekolahnya nyantai dan – seringnya – mahal. Share it: